Nasional

Gus Baha: Belajar Fiqih Melahirkan Kecerdasan

Sel, 25 Februari 2020 | 15:15 WIB

Gus Baha: Belajar Fiqih Melahirkan Kecerdasan

KH Ahmad Bahaudin Nur Salim (Gus Baha) menyampaikan ceramah di Haul KH Bisri Syansuri. (Foto:NU Online/Syarif Abdurrahman)

Jombang, NU Online
KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau akrab disapa Gus Baha menceritakan pentingnya ilmu fiqih. Meskipun yang dibahas kadang tidak begitu penting menurut pandangan umum.
 
Menurutnya, ulama Indonsia memiliki hobi membuat makhtutat atau catatan tentang apa saja, itu dikaji dan diteliti lalu diaplikasikan di Indonesia dengan alasan kesesuaian. 
 
Semisal dalam basul masail membahas masalah fiqih yang agak jorok. Saat di Pesantren Sarang, Gus Baha pernah bahas hukumnya disainer yang mendisain celana pendek.
 
Saat itu semua mengatakan haram karena dengan disain itu, perempuan membuka aurat. Tapi ada yang bilang tidak haram, karena bagaimanapun celana pendek berkonstribusi untuk menutup aurat. 
 
"Terkadang debat fiqih itu tidak mutu, tapi dari itu, melahirkan kecerdasan," katanya saat Haul KH Bisri Syansuri di Denanyar Jombang, Jawa Timur, Senin malam (24/2).
 
Menurutnya, masalah fiqih itu unik dan menggelitik. Seperti yang diungkapkan Syekh Mahfudz di dalam kitab Nailul Ma’mul, ada bab yang bahas masalah orang jatuh dari atas dan menimpa hadirin yang jumlahnya banyak.
 
Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang harus dilakukan orang yang jatuh?
 
Apakah tetap di tempat, atau pindah dari tempat jatuhnya? Karena apabila pindah akan menimpa orang lain, sementara apabila tetap di situ akan memberatkan orang yang ditimpa.
 
Saat itu, ada yang menjawab, harus pindah karena yang ditimpa bisa mati kalau tidak pindah apalagi kalau yang jatuh orang gendut. 
 
Ada yang menjawab, tidak usah pindah karena dia jatuh tanpa ikhtiar, apabila dia pindah berarti ikhtiarnya sendiri, maka tidak boleh pindah. 
 
Jawaban ini ada pengecualian lagi, yaitu kalau yang dijatuhi adalah nabi dan yang di sekeliling majelis bukan nabi maka harus pindah. Namun ini dibantah lagi, tidak mungkin ada nabi lagi, karena Nabi Muhammad adalah nabi akhir zaman. Tapi dibantah lagi, masih ada Nabi Isa. 
 
"Tentang masalah ini, Syekh Mahfud berkata, “Sebenarnya (debat) seperti ini tidak ada faidahnya, tapi orang kemudian menjadi cerdas," kata Gus Baha diiringi tawa hadirin.
 
Gus Baha menjelaskan masalah fiqih selalu menarik banyak orang. Semisal terkait politik itu kotor, tapi politik punya otoritas. Jika melihat dari sisi politik itu kotor, maka anak kiai atau cucu kiai tidak boleh berpolitik, tapi apabila melihat politik itu memiliki otoritas, yang apabila dipegang orang fasik dan tidak peduli halal-haram itu berbahaya.
 
"Sekarang kita pilih, memegang kotornya apa memegang otoritasnya?," tanya Gus Baha.
 
Turunan dari logika ini, seperti masalah uzlah, kata Imam Ghazali, uzlah halal apabila orang sudah sering maksiat, dan setiap kemana saja pasti dosa. Pertanyaannya kalau ada orang uzlah ke gunung, dia niat meninggalkan dosa, apa meninggalkan kewajiban? Seperti tidak mau politik, itu karena kotor atau karena tidak mau keberlangsungan Indonesia?
 
Menurut Gus Baha, adanya yang berpolitik maupun tidak berpolitik adalah sama-sama berkahnya. Dengan dorongan kemaslahatan dan semua Islami.
 
"Orang-orang yang bersanad kepada Mbah Mahfudz pasti adalah ahli usul filih, termasuk Mbah Bisri. Kiai Sahal bisa mengarang Thariqatul Wusul karena ngaji kepada Mbah Zubair, Mbah Zubair karena pernah ngaji kepada Kiai Fakih Maskumambang, dan Kiai Fakih karena sanadnya ke Syekh Mahfud al-Turmusi, ada yang membaca al-Tarmasi," ungkapnya.
 
Selain fiqih, ada ilmu ushul fiqih, sebuah ilmu logika, dan logika yang terbangun itu, kemudian menjadi produk hukum. Imam Ghazali bercerita, pernah mendatangi orang-orang yang uzlah dan bertanya, wahai kamu orang yang uzlah kamu sebenarnya meninggalkan umat Nabi Muhammad di tangan orang-orang bid’ah atau menghindari tanggung jawab. 
 
"Jadi mazhab itu penting di dalam fiqih, oleh karena itu KH Hasyim memutuskan Mazhab empat. Walaupun konsekuensi dari itu, ada banyak perbedaan masalah hukum," tandas Gus Baha.
 
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin