Nasional

Gus Baha Kisahkan Cara KH Faqih Maskumambang Hormati KH Hasyim Asy'ari meski Beda Pandangan

Sen, 3 Oktober 2022 | 11:30 WIB

Gus Baha Kisahkan Cara KH Faqih Maskumambang Hormati KH Hasyim Asy'ari meski Beda Pandangan

Rais Syuriyah PBNU, KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha. (Foto: tangkapan layar Gus Mus Channel)

Rembang, NU Online 

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha menjelaskan perdebatan sudut pandang atau khilafiyah yang terjadi di kalangan para ulama terutama dalam bidang fiqih. 


Gus Baha memulai dengan menceritakan kisah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dengan Kiai Faqih Maskumambang yang memiliki cara pandang berbeda menyoal hukum seputar penggunaan kentongan yang digunakan untuk penanda masuknya waktu shalat.


Kiai Hasyim Asy’ari melarang penggunaan kentongan lantaran hukumnya haram karena mirip dengan loncengnya orang Nasrani. Sementara menurut Kiai Faqih hukumnya boleh pasalnya fungsi dari kentongan sendiri untuk menginformasi berita duka dan lain sebagainya. 


“Mbah Hasyim nate (pernah) berpikir haramnya kentongan. Mbah Faqih mengatakan kentongan halal padahal kedua ulama itu rais akbar PBNU dan wakil rais akbar,” kata Pengasuh Pesantren Tahfidzul Qur’an Lembaga Pendidikan Pengembang Ilmu Al-Qur’an (LP3IA) Rembang Jawa Tengah itu. 


“Cerita yang beredar Kiai Hasyim mau datang ke Termas (Pondok Pesantren Kiai Faqih) semua kentongan disembunyikan termasuk bedug. Mbah Hasyim sempat geer (percaya diri) mengira KH Faqih ikut Mbah Hasyim. Tak lama datang santri masih lugu dan mengatakan ‘Mbah kentong bedug sudah disimpan aman’ ternyata itu hanya untuk menghormati Mbah Hasyim saja,” katanya disambut gelak tawa hadirin yang hadir haul malam itu. 


Kisah ini disampaikan Gus Baha dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad saw dan haul masyayikh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (1/10/2022) malam.


Lebih lanjut, Gus Baha mengatakan sejak zaman dahulu perdebatan di kalangan ulama sudah ada karena sudut pandang fiqih itu luas, namun bukan diranah akidah. Makanya dari dulu para ulama sering dihujat.


“Sejak dulu kiai sering dicari celah salahnya, namun itu bagian seni jadi kiai, kalau tidak begitu kurang cerdas,” ujar santri kinasih almaghfurlah KH Maimoen Zubair itu. 


Gus Baha berpandangan, fiqih ini ranahnya ijtihad. Artinya banyak sudut pandang yang berbeda karenanya dalam masalah khilafiyah diharapkan tidak sembarang, harus disertai ilmu.

 

“Kalau tidak ada khilaf dalam persoalan fiqih kasihan umat. Namun demikian khilaf dalam ilmu fiqih harus dijaga basisnya dengan ngaji,” jelas Gus Baha.


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad