Nasional

Gus Nadir Dorong Pesantren Pacu Santri Berkemampuan Membaca Kritis 

Rab, 15 September 2021 | 01:00 WIB

Gus Nadir Dorong Pesantren Pacu Santri Berkemampuan Membaca Kritis 

Ilustrasi: Kekuatan hafalan para santri tanpa dibarengi dengan kemampuan memahami teks dan membaca teks dengan kritis ini tidak cukup apabila ingin menjangkau dunia internasional.

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru, Prof Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa tak hanya hafalan, pendidikan pesantren juga harus mendorong kemampuan santri membaca kritis. 

 

Bertolak pada perkembangan dunia pesantren Indonesia zaman dulu, ia menjelaskan bahwa taraf ulama Indonesia saat itu menyentuh level internasional. Tak hanya perihal berguru, tetapi juga dalam mengajar. Hal ini menunjukkan tingkat kedalaman ilmu dan kesalehan para ulama zaman dulu yang kemampuannya tidak perlu diragukan.

 

"Syekh Nawawi al Bantani dari Banten, Syekh Mahfudz al-Tarmasi dari Tremas, Syekh Yasin Padang. Bahkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari ini juga mengajar di Masjidil Haram pada masanya," jelas Gus Nadir, sapaan akrabnya pada webinar bertema Pendidikan Pesantren Perspektif Historis Filosofis pada Selasa (14/9/2021).

 

"Syekh Sa’dullah al-Maimani, mufti India. Syekh Umar Hamdan, ahli hadits di Makkah ini juga murid KH Hasyim Asy’ari. Juga kitabnya Kiai Ihsan Jampes yang dipelajari sampai Afrika," imbuhnya.

 

Gur Nadir menegaskan, kemahiran ulama-ulama Indonesia zaman dulu sudah seharusnya menjadi panutan dan menjadi pedoman dalam mencetak santri atau pelajar di perguruan tinggi berbasis pesantren dengan kontribusi yang baik.

 

"Dulu, pendidikan pesantren mampu melahirkan kiai level internasional, sekarang bagaimana? Saya punya keyakinan bisa," ujarnya. 

 

Gus Nadir mengatakan, selama ini, kekuatan pendidikan pesantren terkenal berfokus pada hafalan. Tentu ini sesuatu yang baik. Tetapi, kekuatan hafalan tanpa dibarengi dengan kemampuan memahami teks dan membaca teks dengan kritis ini tidak cukup apabila ingin menjangkau dunia internasional. Untuk melahirkan generasi santri yang brilian, haruslah ditingkatkan kemampuan membacanya, terkhusus membaca dengan kritis. 

 

Ia juga menjelaskan terma yang dimaksudkan mengenai membaca secara kritis, yakni membaca secara cermat, mengaitkan dengan pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya, lalu memahami untuk bisa mengontekstualisasikan dengan kondisi saat ini.
 

"Tanpa kita meningkatkan pemahaman ala critical reading (membaca dengan kritis) ini maka kehebatan pondok pesantren seperti yang dijelaskan sebelumnya tidak akan bisa terwujud dalam konteks sekarang, kalau kemudian tidak didukung oleh cara kita untuk membaca dengan kritis,"
papar Gus Nadir. 

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan