Nasional

Gus Nadir: Warga NU Sejahtera, Bangsa Indonesia Sejahtera

Ahad, 31 Januari 2021 | 14:50 WIB

Gus Nadir: Warga NU Sejahtera, Bangsa Indonesia Sejahtera

Gus Nadirsyah Hosen. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Jelang memasuki abad kedua, Nahdlatul Ulama diharapkan terus membantu menyejahterakan warganya. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Nahdliyin, sehingga jika warga NU sejahtera maka sama dengan sejahteranya bangsa ini.


“Kita harus bisa menjamin kesejahteraan masyarakat,” tegas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), dalam peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-95 NU yang digelar secara virtual, pada Sabtu (30/1) malam. 


Menyejahterakan masyarakat harus menjadi salah satu fokus utama NU. Sebab diungkapkan Gus Nadir bahwa Al-Quran menegaskan agar harta jangan sampai hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Begitu pula perintah shalat yang kerap digandeng dengan perintah zakat. Nabi Muhammad pun mengajarkan, tidak dianggap beriman jika tidur nyenyak tapi tetangga kelaparan.


“Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj berulangkali mengingatkan ketimpangan sosial yang ada pada saat ini. Misalnya aset negara dikuasai hanya oleh 20 persen populasi. Tidak akan ada kesejahteraan sosial jika struktur ekonomi kita masih timpang seperti ini,” ujar Gus Nadir.


Gus Dur menolak teori pembangunan sekularisme 


Bahkan jauh sebelum itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah menolak teori pembangunan sekularisme yang hanya menjadikan ukuran kemakmuran secara kuantitatif seperti penghasilan nasional, capaian umur rata-rata, kepemilikan rata-rata per orang. Begitu pula soal ukuran kemewahan seperti mobil, rumah, dan telepon.


“Gus Dur menghendaki spirit bangsa ini yang tercantum dalam UUD 1945 agar dijadikan sebagai ukuran. Bukan untuk dibenturkan, tapi justru dipakai untuk melengkapi ukuran kualitatif yang ada, sehingga pembangunan negara kita secara menyeluruh tidak hanya bersifat materi tetapi juga bersifat spiritual,” terang Gus Nadir


“Maka, Gus Dur menginginkan spirit Islam itu mewujud dalam bentuk keadilan, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kemakmuran kolektif. Itu sebabnya Gus Dur mengritik orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis, mengabaikan ukuran-ukuran seperti kesejahteraan sosial, penegakan hukum dan HAM,” lanjutnya.


Karena itu, Gus Nadir mengingatkan bahwa tantangan NU dalam memasuki abad kedua nanti adalah mampu memberikan berbagai program konkret untuk menyejahterakan warganya. Hal tersebut dalam upaya mengurangi ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini.


“Sehingga kita nanti bisa bersama-sama memasuki era kemakmuran kolektif. Bukan hanya kemakmuran yang hanya dikuasai oleh segelintir orang,” ucap Gus Nadir. 


Disibukkan dengan benturan agama dan kebangsaan


Selanjutnya Gus Nadir menilai bahwa saat ini orang-orang NU kerapkali disibukkan dengan saling dibenturkan atau membenturkan antara dua topik penting yang bisa berjalan berdampingan, yakni agama dan kebangsaan.


Posisi NU berada di tengah-tengah. Di satu sisi terdapat kelompok yang mengaku dirinya paling benar, shaleh, alim, beragama, dan paling masuk surga. Sementara di sisi lain ada kelompok yang mendaku dirinya paling Pancasila. Karena itulah kemudian terjadi fenomena saling jual emosi umat, politisasi agama, dan pada akhirnya sakralitas mimbar agama menjadi hilang.


“Itulah yang memalingkan perhatian kita dari hal-hal yang lebih besar. Karena itu, warga NU tidak boleh terjebak dalam upaya-upaya pembenturan terhadap tema agama dan kebangsaan. Kita harus lebih bicara hal-hal substansif dan lebih besar memasuki abad kedua nanti,” ujar Gus Nadir.


NU masih berada di jalan yang benar


Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan dan merasa bersyukur bahwa hingga saat ini, di usia yang ke-95 tahun, NU masih berada di jalan khittah yang benar. Hal tersebut menjadi modal untuk menjalankan amanah yang diwarisi para pendiri NU, terutama Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari,


“Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah, syukran adzhiman hamdan katsiran, karena usia NU sudah memasuki usia yang cukup dewasa, hampir seratus tahun. Menurut hitungan qamariyah 98 tahun dan hitungan syamsiyah 95 tahun,” kata Kiai Said.


“Baik qamariyah maupun syamsiyah menunjukkan bahwa kita adalah jamiyah (organisasi) yang sudah dewasa, sudah panjang perjalannya, banyak andil dan kontribusinya untuk bangsa ini,” lanjut Kiai Said.


Dalam perjalanan selama 95 tahun ini, kata Kiai Said, NU tentu menemukan jalan yang terdapat banyak lika-likunya. Terkadang menjumpai jalan yang mudah, mulus, halus, lurus, dan lebar. Namun tak sedikit pula ditemui jalan terjal, berkelok, curam, menanjak tinggi, dan menurut sangat tajam.


“Perjalanan seperti itu hal yang sangat biasa. Alhamdulillah sampai saat ini, NU masih on the right track (di jalan yang benar) menjalankan amanah para pendiri terutama Mbah Hasyim Asy’ari,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad