Nasional

Gus Yahya Sampaikan Arah Gerak NU Setelah Pemilu 2019

Sen, 29 Juli 2019 | 14:30 WIB

Gus Yahya Sampaikan Arah Gerak NU Setelah Pemilu 2019

Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam Diskusi Nasional 'NU Paskapilpres 2019', di Kampus SMK NU 1 Bener Purworejo, Jateng, Jumat (26/7).

Purworejo, NU Online
Lahirnya NU adalah awal bagi lembaran baru peradaban Islam. Lahirnya NU juga tidak lepas dari pengaruh runtuhnya khilafah Islamiyah Turki Utsmani. 
 
Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan hal tersebut dalam Diskusi Nasional bertema NU Paskapilpres 2019, di Kampus SMK NU 1 Bener Purworejo, Jawa Tengah, Jumat (26/7).
 
Menjawab pertanyaan Gus Aunullah A'la Al-Habib yang saat itu bertugas sebagai moderator, apa yang harus dilakukan NU ke depan?, Gus Yahya lantas menjelaskan mulai masa awal berdirinya NU. 

Sejak awal NU didirikan, kata Gus Yahya, penggunaan lambang jagat (bola dunia) adalah isyarah bahwa NU bukan saja organisasi lokal-nasional. Namun, memiliki himmah untuk menyatukan seluruh umat Islam di dunia. "Terbukti lambat laun gagasan klasik NU mulai diterima sebagai solusi kehidupan dunia," katanya.

Gus Yahya juga menyampaikan, sebagian besar umat Islam di belahan dunia manapun pada awalnya terlalu memendam dendam dan ingin membalas kekalahan Turki Usmani terhadap bangsa barat, sehingga muncul organisasi macam IM, HT, Al Qaeda, dan lainnya.
 
"Namun NU memiliki gagasan lain yang menghendaki hilangnya semua rasa dendam dan permusuhan sesama umat manusia serta mengusahakan perdamaian dunia," terang Gus Yahya.
 
Puncak dari proses tersebut, pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang menghasilkan kesepakatan ulama-ulama NU untuk berhenti berpolitik praktis dan memisahkan diri dari partai politik. Hasil musyawarah alim ulama saat itu juga menyepakati asas tunggal pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara. 

"Selain itu gagasan penting yang paling fundamental adalah usulan KH Ahmad Shiddiq, Rais Aam terpilih yang disepakati oleh semua yang hadir mengenai gagasan untuk menghentikan permusuhan dengan siapa pun. "NU teguh pada ukhuwah islamiah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah bashariyah/insaniah. Yang artinya NU menolak semua gerakan politik kelompok-kelompok Islam radikal yang menghalalkan kekerasan dan membawa permusuhan sesama umat manusia," imbuh Gus Yahya.

Selain itu, NU tidak memandang perbedaan agama sebagai dasar permusuhan. Persaudaraan dengan sesama manusia, apa pun agamanya, merupakan suatu hal yang harus diperjuangkan, sesuai hasil musyawarah dari para alim ulama NU sejak dahulu. Dan, PBNU hingga kini masih teguh memperjuangkan amanat tersebut.

Kemudian, Muktamar NU di Makassar menegaskan bahwa NU harus maju menawarkan konsep solusi Islam rahmah dan Islam yang ramah untuk perdamaian dunia. Itu adalah satu-satunya jalan menghindari peperangan. Hal ini bukan hal baru bagi NU. NU telah memperjuangkannya sejak lama.
 
"Bangsa Timur Tengah pun harus mau menimba ilmu kepada NU jika ingin menghapuskan konflik perang saudara di negaranya," tegasnya.
 
Gus Yahya  mencontohkan, setelah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur gigih berjuang mengubah mindset semua orang demi kerukunan antarumat manusia dan mengajak semua untuk menghentikan permusuhan. Perjuangan Gus Dur berlanjut hingga saat menjabat Presiden RI, bahkan hingga akhir hayatnya.

Menurut GUs Yahya, langkah Gus Dur merangkul semua umat manusia tanpa pandang latar belakang, suku bangsa, dan agama pun menuai kecaman pihak-pihak yang gagal paham. Padahal jelas, niatan Gus Dur dan para penerusnya sejalan dengan putusan Muktamar NU di Situbondo. Yakni, kerukunan seluruh umat manusia dan perdamaian dunia seperti yang selama ini hanya jadi slogan PBB.

Tentang paradigma NU ke depan, menurut Gus Yahya, warga NU harus percaya diri. Jumlah jamaah NU yang kini mencapai 70 persen, lebih dari total warga Muslim Indonesia harus benar-benar bisa dimanfaatkan. Jumlah sebesar itu bisa bertahan karena NU terus mempertahankan al-ilm wa ri'ayah, serta mempertahankan tradisi-tradisi yang baik dan menjadi ciri khas bangsa. Sehingga sebenarnya semua perangkat pemerintahan sangat bergantung pada warga NU dalam melaksanakan tugasnya.

"NU sejatinya tidak hanya berjuang untuk warganya saja, namun membawa kemaslahatan bagi semua umat. Bukan hanya bangsa Indonesia, namun juga penduduk dunia," kata Gus Yahya 
 
Dalam berbangsa dan bernegara NU bertanggungjawab memberdayakan kadernya, memberikan pemahaman yang mendalam untuk kemakmuran semua umat. Untuk itu NU harus berdaya secara politik dan ekonomi. Harus ada perbaikan anggapan bahwa program itu sama dengan sebuah proyek. Padahal program adalah agenda yang harus dilaksanakan dengan sebuah strategi dan sinergi. 
 
"Kita tidak boleh mengandalkan bantuan untuk melaksanakan program, namun harus bisa merangkul semua pihak terkait yang sebenarnya membutuhkan NU untuk melaksanakan tugas mereka. Dengan adanya kerja sama dengan banyak pihak tentunya program NU ke depan dapat terlaksana tanpa terkendala hal-hal materil," paparnya lagi.
 
Ke depan, imbuhnya, semua jenjang kepengurusan NU harus bisa berfungsi sebagaimana pemerintahan (government) bagi warganya. Lembaga-lembaga harus berfungsi secara spesifik, sebagaimana sebuah kabinet dalam pemerintahan.
 
"Pengurus-pengurus wilayah hingga ranting harus bisa menerjemahkan kebijakan PBNU dengan baik dan berjenjang sebagaimana negara mengatur desa-desa," pungkas Gus Yahya. (Ahmad Nashir/Kendi Setiawan)