Nasional

Ini Alasan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban Bahas Piagam PBB

Jum, 3 Februari 2023 | 21:00 WIB

Ini Alasan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban Bahas Piagam PBB

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan bahwa Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I akan mengangkat tema soal kedudukan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pandangan syariat Islam. Ia menjelaskan alasan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I membahas Piagam PBB.


Menurut Gus Yahya, umat manusia di dunia ini mulai membicarakan toleransi dan perdamaian belum lama. Dulu, pada awal-awal abad ke-20, orang-orang tidak memiliki kebutuhan untuk bicara soal toleransi, apalagi di abad-abad sebelumnya. 


Gus Yahya menyebutkan, di masa-masa itu tidak ada tampilan peradaban Islam yang toleran, begitu juga Kristen dan agama-agama lain. Bahkan, dunia pernah mengalami sejarah perang salib sampai tiga kali. 


“Perang Utsmani berhadapan dengan Eropa ratusan tahun. Di Timur, Kerajaan India dan Kekuatan Hindu konflik. Sunni-Syiah konflik ratusan tahun berdarah-darah. Konflik Katolik, Protestan, dan Anglikan ratusan tahun juga. Anglikan sama Katolik, Inggris dan Irlandia belum lama baru bisa diselesaikan,” kata Gus Yahya di Kantor PBNU, Rabu (1/2/2023). 


Lebih lanjut, kata Gus Yahya, orang-orang di dunia ini baru berpikir soal tata dunia damai setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Piagam PBB. Inilah permulaan dari perbincangan mengenai upaya membangun perdamaian di muka bumi. 


“Sebelum itu, yang ada di dalam wacana Islam misalnya, isinya konflik. Orang kafir halal darahnya. Kalau mau dirujuk referensi sebelum piagam PBB ya isinya itu (soal konflik),” ujar Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu. 


Gus Yahya menegaskan bahwa toleransi bertujuan agar manusia bisa hidup damai dan tidak terjadi konlik yang memuncak secara besar-besaran. Menurut Gus Yahya, konflik yang terjadi di mana-mana itu salah satu penyebabnya adalah soal urbanisasi dan berdampak pada keuangan global yang tidak memungkinkan seseorang di belahan dunia mana pun untuk lari.


“Konflik Rusia-Ukraina itu kita tidak punya kepentingan, tetapi kita bisa ikut melarat gara-gara itu. Itulah sebabnya kita (warga dunia) menggagas Piagam PBB itu yang kemudian menetapkan kesepakatan tentang perbatasan, bahwa setiap negara punya batas kedaulatan,” ujarnya. 


Dalam sudut pandang Islam, kata Gus Yahya, apabila hendak mengembangkan wacana syariat tentang perdamaian dan toleransi maka harus bermuara dari Piagam PBB. Untuk itulah, hal pertama yang harus disepakati adalah soal kejelasan kedudukan Piagam PBB di mata syariat. 


“Ini perjanjian sah atau tidak (di mata syariat)? Karena ini perjanjian di antara pemimpin-pemimpin politik. Kalau ini sah di mata syariat, ini urusan pertimbangan fiqih, dengan disiplin yang sangat kompleks. Tapi rumusan itu yang bisa dijadikan pijakan dan mengikat bukan hanya bagi anggota PBB, tapi bagi warga negara masing-masing,” ucap Gus Yahya.


Kalau dinyatakan sah oleh para ulama dunia di Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I, maka Piagam PBB itu akan menjadi pijakan untuk mengembangkan wacana yang lebih lugas dalam kerangka syariat Islam tentang perdamaian, toleransi, dan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) universal. 


“Karena kalau kita tengok referensi abad pertengahan, tidak ada juga HAM universal. Kafir dzimmi itu dilindungi tapi tetap warga negara kelas dua. Di Inggris, orang-orang Anglikan dari Irlandia menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak bisa jadi pegawai negeri, kalau tentara mentok hanya jadi sersan,” ucap Gus Yahya. 


Dari segi atau sudut pandang Islam, Gus Yahya hendak menjadikan konsep HAM universal itu memiliki legitimasi di mata syariat. Karena itu, ia sangat gigih untuk menginisiasi gelaran Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I di Surabaya, pada 6 Februari 2023. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad