Sejak duduk di kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah (MI), orang tua Indana gigih mengantarkan putrinya itu ke kiai untuk belajar tilawah. Dengan berkendara sepeda motor, ia menempuh jarak berkilo-kilo meter demi mendengarkan sang kiai melantunkan ayat-ayat suci untuk kemudian ia tiru berulang kali di rumahnya.
Indana mengaji kepada Kiai Dahlan Sembayat, Manyar, Gresik yang berjarak 5 km dari rumahnya. Selain itu, ia juga belajar kepada KH Syaiful Munir, Sukorejo, Bungah, Gresik yang berjarak hampir sama, yakni sekitar 7 km dari kediamannya.
“Dua guru ini selalu selingan harinya. Jadi, tiap hari ngaji,” kata kader Pimpinan Ranting Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PR IPPNU) Sumberrejo, Manyar, Gresik itu.
Bahkan, ceritanya, ia beberapa kali mesti pulang dini hari demi mengingat selesai ngaji pukul 10 malam sejak bakda Isya. Ia harus beristirahat lebih dulu di masjid tempatnya mengaji sembari menunggu jemputan orang tuanya yang terkadang pagi atau pukul 2 dini hari.
Ia dibekali tape recorder oleh orang tuanya. Lengkap dengan kaset pitanya yang masih kosong untuk merekam suara kiainya. Kaset itu ia putar berulang kali agar bisa menirukannya dengan lagu dan variasi yang tak berbeda, atau setidaknya mendekati.
Jalan terjal
Perjalanan panjang nan terjal itu terkadang membuat orang tuanya harus menelan pil pahit kecelakaan. Namun, itu tak menghalangi niat mereka membawa kesuksesan putra-putrinya di masa mendatang.
“Pernah ibu saya jatuh dari sepeda motor pas berangkat ngaji, pas pulang juga kecelakaan. Untung saja nggak ada truk. Itu belum soal ban bocor, skok patah, atau meninggalkan adik yang masih kecil sendirian di rumah,” tutur Indana.
Melihat ibunya yang tak pernah letih mengantarnya bolak-balik ke para kiai untuk belajar tilawah menyisakan pertanyaan di benak Indana kecil. Hal itu sampai pernah ia utarakan ke ibunya. “Ibu, buat apa sih kok ngaji terus. Ya, liburlah sekali-kali,” imbuhnya.
Dengan senyum hangat, ibunya menjawab pertanyaan putrinya itu menggantung. Sebab, Indana tidak mendapatkan jawaban saat itu juga. “Indah harus belajar dengan istiqamah. Yang kuat, yang sabar, yang ikhlas. Nanti, Indah akan ngerti maksud Ibu kalau Indah sudah besar,” katanya.
Keistiqamahan ibunya itulah yang terus memotivasinya belajar tilawah. Ibunya betul-betul menanamkan putrinya untuk dapat menjadi seorang qariah. Terlebih melihat para seniornya yang telah berprestasi di berbagai tingkatan dengan beragam hadiah yang diperolehnya karena kemampuannya tersebut.
Belum lagi gurunya, Kiai Syaiful Munir, yang pernah menyabet terbaik pertama Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Internasional di Turki tahun 1997.
Indana juga belajar kepada Nyai Hj Nur Khoiriyah di Ujung Pangkah, Gresik, seorang qariah internasional. Saban Sabtu bakda dzuhur, ia harus menempuh jarak 23 km demi dapat mengaji langsung kepadanya.
Tak pelak, ia yang merasa sebagai orang desa membubuhkan catatan kecil di bukunya, “Walau ndeso, tapi iso! (Meskipun anak desa, tetapi bisa!)” kata santri Pesantren Nurul Quran Al-Istiqomah, Bungah, Gresik, Jawa Timur itu.
Rupanya, kata-kata Indana itu sakti betul sampai cita-cita yang diharapkannya menjadi qariah internasional layaknya para guru itu terwujud ketika kini ia tengah berstudi di Institut Agama Islam (IAI) Qamaruddin Gresik, Jawa Timur.
Lomba Virtual
Pada mulanya, Indana mengetahui adanya lomba tersebut dari rekannya yang melihat iklan di Instagram. Ia penasaran untuk mencobanya dengan mengirim video dirinya mengaji ke alamat email yang tertera pada iklan tersebut.
Ia hampir putus asa karena lebih dari seminggu tidak mendapatkan kabar yang diharapkannya itu. Namun, tak berselang lama, rekannya mengabari bahwa ia menjadi bagian dari 50 finalis tersebut.
Indana berhasil menyisihkan ribuan peserta lain dari seluruh penjuru dunia untuk melaju ke babak final yang dipilih hanya 50 peserta saja yang terbagi ke dalam lima kelompok. Indana masuk kelompok ketiga dengan jumlah peserta terbanyak, yakni 18 orang.
Di tahap inilah, ia berhadapan langsung dengan sang juri melalui aplikasi pertemuan virtual. Setelah menyepakati pertemuan virtual tersebut, ia tak menyangka bakal seperti ujian.
Pasalnya, ia tidak membaca Al-Qur’an dengan dilagu, melainkan membacanya secara tartil. Di samping itu, sang juri, Syekh Muhammad Ashraf menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar tajwid, berbahasa Inggris pula.
“Ternyata baca tartil dengan tiga maqra’ dari undian yang disediakan. Lalu diberi pertanyaan tentang tajwid banyak sekali. Jadi seperti munaqasyah. Saya kaget dan tidak belajar. Spontan inget memori ketika ngaji TPQ,” katanya.
Di akhir, qariah yang menyukai nagham Jiharkah dan Nahawand itu diminta mengirimkan video identitas dirinya beserta gurunya. Hal itu juga ditambahi dengan cerita sang ibu mengenai perjalanan anaknya belajar Al-Qur’an.
Tentu semuanya disampaikan dengan bahasa Inggris. Baginya, itu perjuangan luar biasa mengingat kemampuannya berbahasa Inggris tak seberapa. Kini, jalan terjal itu terasa nikmat setelah mencapai apa yang ia cita-citakan.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Perhatikan 4 Hal Ini Agar Amal Ibadah Diterima Allah
2
Khutbah Jumat: Pendidikan sebagai Kunci dalam Menggapai Impian
3
Khutbah Jumat: Bersemangatlah, Mencari Nafkah adalah Ibadah
4
Kongres XIII JATMAN Siap Digelar di Asrama Haji Donohudan Boyolali pada 21-22 Desember 2024
5
Khutbah Jumat: Merawat Alam Sebagai Wujud Kepatuhan Terhadap Perintah Agama
6
7 Hari Wafatnya Syekh Hisham Kabbani: Melihat Gerak Dakwahnya di Amerika
Terkini
Lihat Semua