Nasional

Kajian Islam di Malang: NU Harus Jadi Pioner Pemberdayaan Ekonomi Umat

Sel, 3 September 2019 | 07:00 WIB

Kajian Islam di Malang: NU Harus Jadi Pioner Pemberdayaan Ekonomi Umat

Potensi ekonomi warga NU sangat luar biasa. (Foto: NU Online)

Malang, NU Online
Pimpinan Cabang (PC) Lembaga Kajian Sumber Daya manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kota Malang, Jawa Timur mengadakan serial kajian Islam dan NU yang kesepuluh. Kegiatan ini secara berkala dilakukan dengan mengundang beberapa narasumber yang memiliki kepakaran tertentu. Seperti kajian yang dilaksanakan di kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang, Senin (2/9) dengan tema NU dan Pemberdayaan Perekonomian Umat: Peluang dan Tantangan.
 
Kajian yang dilaksanakan dengan model lesehan dan ngobrol ilmiah ala warung kopi tersebut mendatangkan pembicara utama, M Mahbubi Ali dari Malaysia.
 
Mahbub yang merupakan Dewan Pengawas Syariah Affin Islamic Bank Malaysia menyatakan bahwa paling tidak ada dua kendala dan peluang dalam bidang pemberdayaan ekonomi yang bisa dilakukan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
 
"Permasalah utama dalam pemberdayaan ekonomi, terutama dalam aspek micro finance adalah likuiditas dan potensi bangkrut, yang mana dari lembaga keuangan mikro seperti koperasi maupun baitul mal bisa menjadi kendala dalam perkembangannya,” katanya. 
 
Setidaknya NU yang memiliki lembaga perkonomian, lembaga zakat infak dan sedekah, serta lembaga wakaf, sebenarnya sangat bisa menjadi pioner dalam upaya pemberdayaan ekonomi umat tersebut. 
 
“Likuiditas dan potensi kolaps ini paling tidak bisa dimitigasi dengan dua model. Yang pertama memaksimalkan warga Muslimat NU, dimana riset membuktikan bahwa nasabah perempuan itu lebih jujur, setia, dan amanah," tegasnya.
 
Menurut alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ini, berkaca dari kesuksesan Bank Grameendi Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu, yaitu pinjaman tanpa membutuhkan collateral atau jaminan. Sistem ini dibangun berdasarkan ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang belum dimaksimalkan. Dan kredit ini diberikan kepada kelompok perempuan produktif yang masih berada dalam status sosial kurang mampu. 
 
“Sistem seperti Bank Grameen ini bisa diadopsi oleh NU dengan berbagai lembaga dan potensi jamaahnya,” ungkapnya.
 
Cara mitigasi selanjutnya adalah dengan pola tanggung renteng. Model pola ini terinspirasi dari kelompok ibu-ibu arisan. Pola ini, pada awal diterapkan bertujuan untuk pengamanan aset. Hal ini penting, karena sebuah lembaga peminjaman mikro tidak akan bisa bertahan apalagi berkembang, bisa asetnya tidak aman. 
 
Menurut pengamatannya, hampir mayoritas kreditur perempuan yang menggunakan pola tanggung renteng ini tertib dalam membayar sehingga terhindar dari kredit macet. 
 
Ada beberapa perempuan misalnya, si A yang berutang, ditanggung oleh si B. Si B ditanggung oleh si C. Begitu seterusnya sampai membentuk lingkaran, contohnya sampai sepuluh pertempuan yang bisa saling menangung utangnya satu sama lain. Sehingga jika ada satu peminjam saja yang sampai macet, maka masih ada jaminan dari yang lain. Dampaknya akan saling mengingatkan. 
 
“Ini akan ada komunikasi dan tolong menolong antar sesama peminjam bisa menimbulkan sikap bertanggung jawab menunaikan kewajiban pembayarannya dengan baik,” jelasnya.
 
Di samping mitigasi risiko, yang bisa dilakukan juga pengembangan dalam model pemanfaatan wakaf.
 
Ada permasalahan yang bisa membuat NU kurang berkembang dalam urusan wakaf.  “Yaitu mindset fiqih madzhab Syafii yang sangat dominan, dan beberapa oknum pengurus yang menjadikan NU untuk kepentingan politik praktis sehingga mengabaikan peran pemberdayaan ekonomi umat,” urainya.
 
Menurutnya, Hadratussyeh KH M Hasyim Asy’ary ketika mendefinisikan Aswaja dalam hal fiqih adalah siapa saja yang mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali. Masalahnya di Indonesia, khususnya warga NU adalah Syafii minded
 
“Sehingga peluang pendapat dari madzhab lain, misalnya Hanafi dalam urusan wakaf sebenarnya bisa diadopsi untuk kemaslahatan yang lebih besar,” jelasnya.
 
Karena itu, dia mengusulkan perlu ada bahtsul masail mulai level cabang sampai pengurus besar yang membahas pengembangan model wakaf produktif.  Di banyak negara, seperti Malaysia, Arab Saudi, wakaf sudah banyak modelnya. Ada wakaf uang, wakaf korporasi, termasuk wakaf surat berharga seperti saham, reksadana, obligasi syariah (sukuk), hingga investasi. 
 
“Beberapa model wakaf ini bisa dilakukan dengan tetap menjaga nilai pokok wakaf dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan. Harapannya, NU tidak hanya fokus dan mengelola di wakaf tanah untuk kuburan, sekolah, maupun masjid saja, akan tetapi sudah lebih progresif menyesuaikan dengan perkembangan zaman," terangnya.
 
Menurut pria asli Madura yang sudah lebih dari sembilan tahun di Malaysia ini, warga NU sangat menghormati hasil keputusan bahtsul masail. Sehingga dasar referensi agama yang memadai mampu menjadikan pengembangan pemberdayaan melalui wakaf lebih maksimal. 
 
“Bahkan sekarang berkembang wakaf pemikiran, karya intelektual, atau gagasan. Misalnya mengundang pakar tentang micro finance, kemudian diminta memberikan pelatihan dan mentor kepada peserta pelatihan yang mana jasa keahliannnya diberikan secara gratis. Hal itu juga termasuk wakaf, yakni wakaf keahlian, wakaf gagasan,” kata Head of Economics, Finance, Awqaf, and Zakat Unit Cum Research Fellow at the International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia ini.
 
Acara dihadiri PCNU Kota Malang,  Ketua PC Lakspedam NU Kota Malang M Faisol Fatawi, Katua PC LTN NU Kota Malang Achmad Diny H, Ketua PC ISNU Kota Malang, Fauzan Alfas, dosen Universitas Negeri Malang, Achmad Tohe. Juga tampak hadir para mahasiswa, pengusaha, serta pengurus NU lain. 
 
 
Editor: Ibnu Nawawi