Nasional

Kaleidoskop 2020: Kontroversi Pengesahan UU Cipta Kerja

Kam, 17 Desember 2020 | 07:45 WIB

Kaleidoskop 2020: Kontroversi Pengesahan UU Cipta Kerja

Ilustrasi Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Tahun ini, Indonesia sempat dihebohkan dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Pemerintah Indonesia pada 5 Oktober 2020. Pengesahan tersebut dinilai bermasalah karena dilakukan dengan terburu-buru dan tidak transparan.


UU Cipta Kerja itu menuai kritik karena diasumsikan dapat merugikan hak-hak buruh atau pekerja. Bahkan meningkatkan deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan.


Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) memberi kritikan tegas kepada DPR dan Pemerintah karena secara sepihak mengesahkan UU Cipta Kerja. Organisasi serikat pekerja di bawah naungan Nahdlatul Ulama ini menilai bahwa UU Cipta Kerja tersebut disahkan secara tidak tranparan.


Wakil Presiden Dalam Negeri DPP K-Sarbumusi Sukitman Sudjatmiko, kepada NU Online, pada 6 Oktober 2020, mengungkapkan bahwa pihaknya menyayangkan pemerintah yang tidak transparan dan tidak memasukkan pasal 59 ke dalam draf pembaruan yang kemudian disahkan. 


“Kita menolak dan menyayangkan terhadap prosesnya yang tidak transparan dan pasal 59 yang tidak dimasukkan ke dalam draf terbaru,” katanya.


Padahal, pasal tersebut mengatur soal tenaga kontrak. Di UU Cipta Kerja yang sudah disahkan itu, pasal 59 tidak dicantumkan. Artinya, pemerintah tidak mengatur secara rinci batas waktu pembaruan tenaga kerja kontrak. 


Ketentuan mengenai detail jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja, akan diatur dengan kebijakan turunan melalui peraturan pemerintah.


Sebelumnya di dalam Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit telah disepakati agar pasal tersebut dimasukkan ke dalam UU. Sukitman juga menegaskan, serikat pekerja dan Asosiasi Pengusaha Indonesia telah sepakat bahwa pasal 59 tersebut mesti dihidupkan kembali.


“Ini yang kita sayangkan. Pasal (59) ini tidak dimasukkan oleh pemerintah menjadi salah satu pembaruan ke DPR. Padahal ini sudah kesepakatan,” katanya.


Sarbumusi bersikukuh untuk memperjuangkan pasal 59 ini yang berdampak pada keanggotaan serikat pekerja atau buruh. Menurutnya, jika pekerja banyak yang berstatus kontrak akan membuat enggan untuk berserikat. 


“Kita akan berjuang di pasal 59 itu. Kemungkinan kita akan melakukan judicial review terhadap pasal 59 yang tidak diakomodir oleh pemerintah. Itu sikap kita,” tegas Sukitman. 


Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pada dasarnya Sarbumusi bisa menerima hasil RUU Cipta Kerja yang telah disahkan itu. Namun dengan beberapa catatan penting yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah soal kesepakatan yang tidak diakomodasi oleh pemerintah itu.


“Padahal jantungnya serikat buruh itu ada di sana (pasal 59). Makanya kita akan melakukan judicial review terkait pasal itu,” jelas Sukitman.


Pada 6 hingga 8 Oktober 2020 terjadi mogok massal secara nasional dan unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh, aktivis, dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Sedangkan buruh yang menggelar mogok massal dan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja adalah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) yang dikomandoi oleh Andi Ghani dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal.


Selain itu, kritik juga datang dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj pada 7 Oktober 2020 yang secara tegas mengatakan bahwa UU Cipta Kerja menindas rakyat kecil.


“Hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis, investor. Tapi menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, dan rakyat kecil,” tegas Kiai Said.


Kiai Said mengajak warga NU untuk mencari jalan keluar yang elegan, yang seimbang dan tawassuth (moderat). Kepentingan buruh, tegasnya, harus dijamin. Terutama yang menyangkut pertanahan, kedaulatan pangan, dan pendidikan.


Sejalan dengan K-Sarbumusi, Kiai Said mengimbau agar persoalan penolakan UU Cipta Kerja ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review atau uji materi. Ia pun melarang keras aksi penolakan yang dilakukan secara anarkis. 


Pada 9 Oktober 2020, PBNU mengeluarkan pernyataan resmi untuk menyikapi UU bermasalah ini. Pernyataan resmi yang ditandatangani langsung Kiai Said dan Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini terdapat sembilan poin.


Salah satunya, di poin kedua PBNU menyesalkan proses legislasi UU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. Menurut pandangan PBNU, untuk mengatur bidang yang sangat luas dan mencakup 76 UU dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kebijakan. 


“Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk,” demikian bunyi pernyataan sikap resmi PBNU di dalam poin kedua. 


Di poin kedelapan surat pernyataan resmi PBNU itu kemudian dinyatakan bahwa NU membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.


Draf UU Cipta Kerja membingungkan


Kepada NU Online, pada 12 Oktober 2020, Sarbumsi menyebut DPR dan Pemerintah membingungkan rakyat. Sebab, draf resmi belum bisa diakses dan dipastikan keabsahannya. Terdapat banyak draf yang beredar di media sosial dengan halaman yang berbeda-beda. 


Sukitman Sudjatmiko, Wapres Dalam Negeri K-Sarbumusi mengatakan bahwa jika ada naskah final UU Cipta Kerja yang bisa diakses maka pihaknya bisa memastikan bahwa tidak ada pasal atau ayat yang dilebihkan, dikurangi, dan bahkan dicoret sesuai kepentingan Pemerintah dan DPR.


Ia mengaku mendapat draf RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober berupa file pdf. Kemudian pada 9 Oktober beredar pula draf yang berjumlah 905 halaman. Namun hari ini, katanya, beredar juga yang 1035 halaman.


Selanjutnya DPR menyerahkan naskah akhir UU Cipta Kerja setebal 812 halaman kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Oktober 2020. Rinciannya 488 halaman berupa undang-undang dan sisanya bagian penjelasan. 


Presiden memiliki waktu 30 hari sejak 5 Oktober 2020 untuk menandatangani UU Cipta Kerja untuk diundangkan menjadi lembar negara. Akhirnya, Jokowi meneken UU Cipta Kerja pada 2 November 2020 menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 


Setelah diteken Jokowi, pihak-pihak yang semula tegas mengritik dan menolak UU Cipta Kerja kini sudah tak terdengar kabar selanjutnya. Beberapa pihak yang ingin mengajukan uji materi ke MK pun, belum ada kejelasan hingga saat ini.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad