Nasional

Kekerasan Seksual di Universitas Tinggi, Ketum Fatayat NU: Hukum Indonesia Masih Lemah!

Rab, 12 Januari 2022 | 14:00 WIB

Kekerasan Seksual di Universitas Tinggi, Ketum Fatayat NU: Hukum Indonesia Masih Lemah!

Ilustrasi kekerasan seksual.

Jakarta, NU Online
Kekerasan seksual di perguruan tinggi menempati urutan pertama sepanjang tahun 2015-2021. Dari berbagai jenjang pendidikan, kekerasan seksual paling banyak terjadi di perguruan tinggi dengan jumlah 14 kasus, pesantren atau pendidikan berbasis agama 10 kasus, 8 kasus di SMA/SMK, 5 kasus tidak teridentifikasi, dan lainnya.

 

Merespons hal tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) Anggia Ermarini menegaskan, hal tersebut menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih lemah dalam melindungi korban. 

 

“Situasi kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang kian darurat diyakini disebabkan oleh sistem hukum yang belum mapan dan lengkap,” katanya kepada NU Online Rabu (12/1/2022).

 

Menurutnya, data kasus di atas menjadi sinyal ada yang salah dari sistem hukum Indonesia. Hukum yang diharapkan jadi solusi persoalan itu faktanya belum cukup mumpuni menghentikan kekerasan seksual, utamanya terhadap perempuan.

 

“Instrumen hukum saat ini dinilai tak cukup untuk mengakomodasi tindak kejahatan terhadap perempuan yang semakin kompleks. Padahal, hampir setiap pekan jatuh korban,” ujarnya.

 

Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang mampu mengisi kekosongan hukum sekaligus berpihak pada hak korban, bukan semata-mata menghukum berat pelaku. Dalam hal ini, kata dia,  Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) urgen untuk segera disahkan.

 

“RUU TPKS sangat penting dan mendesak disahkan agar mengatasi kekosongan hukum yang ada dan memperbaiki substansi hukum yang belum mencakup kebutuhan dan hak korban," jelas Wakil Ketua Komisi IV DPR RI itu.

 

Sebagai informasi, gagasan untuk membuat RUU TPKS sebenarnya sudah ada sejak 2012. Kemudian, pada 2014 Komnas Perempuan mulai menyusun draf Naskah Akademik dan Rumusan RUU TPKS dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait. 

 

Pada 2016, RUU TPKS masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR. Tetapi, hingga 2018 perancangan tersebut masih mangkrak dan belum menemui keputusan final. Hingga pada akhir 2018, Komnas Perempuan yang saat itu sudah berganti struktur kepemimpinan mendesak pengesahan RUU TPKS agar tindak kekerasan seksual yang terus melonjak itu bisa diselesaikan dengan hukum beserta dasarnya yang jelas.

 

Ironisnya, hingga menginjak tahun 2019, RUU TPKS masih harus ditunda. Dijanjikan saat itu bahwa keputusan akan dideklarasikan pada Mei 2019 setelah sebelumnya ditunda pada April 2019 sebagai dampak pelaksanaan pemilu. Memasuki 2020, bahkan hingga akhir 2021, kemarin, RUU TPKS matig terkatung-katung dan tidak kunjung menemukan titik terang. 

 

Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin