Nasional

Faktor Relasi Kuasa Berkontribusi Memantik Kekerasan Seksual di Kampus

Kam, 11 November 2021 | 11:00 WIB

Faktor Relasi Kuasa Berkontribusi Memantik Kekerasan Seksual di Kampus

Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Kartini Laras Makmur, berpandangan bahwa faktor relasi kuasa di lingkungan kampus sangat jelas berkontribusi dalam terjadinya kekerasan seksual. Sayangnya, hal ini tidak banyak disadari.


“Adanya relasi kuasa yang timpang sangat rentan menjadi peluang terjadinya kekerasan seksual lantaran setelah kejadian penyintas cenderung tidak melaporkan atau memproses lebih lanjut kejadian yang dialaminya,” ungkap Kartini kepada NU Online, Kamis (11/11/2021).


Dengan kata lain, pihak subordinat berada dalam relasi kuasa yang tidak setara dengan pihak superordinat. Sehingga pihak subordinat harus menerima perlakuan dari pihak superordinat, termasuk paksaan untuk menjadi objek tindakan seksual.


“Dalam kasus ini, mahasiswa menjadi pihak subordinat dan dosen sebagai superordinat. Adanya jenjang kekuasaan inilah yang menjadi dasar kejahatan seksual terjadi,” jelas Wakil Ketua PW Fatayat NU DKI Jakarta itu.


Relasi kuasa yang dimiliki pelaku atas korban, menurut dia, membuat pelaku merasa berhak dan tidak bersalah ketika melakukan tindakan biadabnya. “Ya,relasi kuasa ini memang sangat sulit diselesaikan,” ucapnya.


Pendapat lain, lanjut dia, kengganan penyintas untuk memproses lebih lanjut juga disebabkan karena sistem pelaporan dan perujukan yang menjamin keamanan dan kerahasiaan belum tersedia.


“Bagaimana tidak, untuk meminta pertolongan saja penyintas masih mempertimbangkan bagaimana anggapan publik terhadapnya, bagaimana nasib dia sebagai mahasiswa atau pun menganggap bahwa melapor sama halnya dengan membuka aib diri sendiri,” beber Kartini.


Pentingkan nama baik
Hal tersebut, lanjut dia, tentu memunculkan banyak keprihatinan. Sikap kampus yang lamban mengatasi kasus-kasus pelecehan seksual menjadi cermin kampus masih lebih mementingkan nama baik institusi ketimbang memberikan perlindungan kepada mahasiswanya.


“Harusnya di dalam peraturan universitas diatur secara jelas sanksi bagi pelaku dan mekanisme perlindungan korban,” ujar Kartini.


“Birokrat kampus seharusnya paham posisi sebagai penjamin keamanan civitas akademika. Namun, kampus lebih mementingkan citra baik, sehingga mengungkapkan secara terbuka kasus-kasus pelecehan seksual ini dianggap aib,” lanjutnya.


Berangkat dari keprihatinannya, Kartini menyarankan agar setiap kampus punya Pusat Krisis. Semacam tempat pengaduan bagi mahasiswa korban pelecehan seksual, baik oleh dosen maupun sesama mahasiswa.


“Kampus setidaknya harus menyelipkan klausul khusus pelecehan seksual sebagai sebuah kebijakan, yang faktanya tak dimiliki kebanyakan kampus,” saran Kartini.


“Satu hal lagi yang juga perlu diatur adalah mekanisme pelaporan dan tindak lanjut laporan tersebut. Sehingga kampus bisa memenuhi hak korban tanpa merasa mengorbankan nama baik institusi,” sambungnya.


Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) nasional pada 2017 disebutkan, satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari tahun lalu sebesar 14 persen.


Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan juga disebutkan, kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan beragam, dengan intensitas yang meningkat, terjadi di lintas ruang, baik di ranah domestik, publik, maupun negara.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori​​​​​​