Nasional

Kemenag Tak Anggap Masalah Jika Ada Murid Berasal dari Agama yang Berbeda 

Jum, 10 November 2023 | 11:00 WIB

Kemenag Tak Anggap Masalah Jika Ada Murid Berasal dari Agama yang Berbeda 

Sekretaris Ditjen Pendis Rohmat Mulyana Sapdi dalam pertemuan di Hotel D'Anaya, Bogor, Jawa Barat, Kamis (9/11/2023) malam. (Foto: Humas Ditjen Pendis)

Bogor, NU Online

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Ditjen Pendis Kemenag) Rohmat Mulyana Sapdi menanggapi permasalahan murid yang bersekolah di tempat yang agamanya berbeda. Ia menegaskan, tidak masalah jika ada murid yang berasal dari agama berbeda. 


Pada beberapa kasus, ada murid beragama Islam bersekolah di sekolah Kristen. Bahkan saat ini ada kasus murid Kristen bersekolah di madrasah ibtidaiyah (MI) yang merupakan sekolah dengan pelajaran secara kumulatif lebih besar agama Islamnya.


Rohmat mengatakan, kasus perbedaan murid dari mayoritas agama sekolah tersebut sebetulnya tidak ada aturan yang mengikat. Dengan demikian, sekolah atau madrasah tetap berkewajiban menerima murid yang berbeda agama. 


Bukan hanya murid, Rohmat mengatakan bahwa guru yang mengajar pelajaran eksakta atau mata pelajaran umum lainnya pun tidak dikenakan aturan sehingga bebas untuk mengajar asalkan memiliki kompetensi untuk mengajar.


"Tidak ada ketentuan yang mewajibkan madrasah untuk hanya menerima siswa beragama Islam, dan juga guru diizinkan berasal dari latar belakang agama non-Islam, kecuali untuk mata pelajaran agama Islam dan matematika," katanya dalam pertemuan dengan wartawan di Hotel D'Anaya, Bogor, Jawa Barat, Kamis (9/11/2023) malam.


Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kasus-kasus seperti itu juga kerap terjadi di wilayah Indonesia bagian timur, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana, ada banyak kasus anak beragama berbeda bersekolah di madrasah karena melihat dari kualitas sekolah tersebut. 


"Di NTT kasus-kasus itu banyak, ada madrasah bagus, non-Muslim ikut. Tidak pernah ada pelanggaran," jelas Rohmat. 


Ia juga menjelaskan soal pengambilan nilai pelajaran agama bagi murid beragama Kristen yang bersekolah di madrasah. Menurut Rohmat, sekolah atau madrasah harus mengakui nilai agama Kristen yang diakumulasikan dari gereja tempat murid itu beribadah. Ini bisa dijadikan referensi atau bukti bagi madrasah untuk mempertimbangkan penilaian agama Kristen dalam pencapaian akademik anak tersebut..


“Kalau anak itu rajin ke gereja, keluarkan nilai agama dari gereja, itu sah. Tidak boleh ada pemaksaan pelajaran fiqih (Islam) misalnya," kata Rohmat.


Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa terdapat prinsip non-diskriminatif dan kebebasan beragama yang harus dihormati sehingga murid dapat memilih dan mengikuti pelajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang mereka anut, tanpa tekanan atau pemaksaan.


"Jika sekolah memiliki anak-anak dari 15 agama yang berbeda, maka harus disediakan guru agama yang mampu mengajar sesuai dengan agama yang dianutnya. Ini akan memungkinkan siswa untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama mereka dengan benar," pungkasnya.


UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Dilansir situs resmi KPAI, Undang-Undang (UU) Nomor 20 pasal 12 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” 


Tidak hanya di institusi pendidikan negeri, melainkan di lembaga pendidikan swasta, keharusan memberikan pelajaran agama sesuai dengan keyakinan masing-masing siswa harus diwujudkan. Oleh karena itu, tugas pemerintah adalah menyediakan atau menunjuk pendidik agama untuk semua siswa sesuai dengan kepercayaan agama mereka, baik di sekolah negeri maupun swasta. 


Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lian secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah”.


Pemberian ciri keagamaan dalam penyelenggaraan sekolah umum adalah hak masyarakat. UU Nomor 20 Tahun 2003, pasal 55 menegaskan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.” 


Penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus kewajiban sekolah yang diselengarakan oleh masyarakat. PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 3 menegaskan: “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.”