Nasional

Ketua PBNU: Indonesia Beruntung Memiliki Budaya Santri

Sel, 15 Oktober 2019 | 01:00 WIB

Ketua PBNU: Indonesia Beruntung Memiliki Budaya Santri

Lailatul Ijtima dan Refleksi Hari Santri PWNU Jawa Tengah. (Foto: NU Online/A Rifqi H)

Semarang , NU Online 
Setiap bangsa di dunia ini memiliki budaya. Namun demikian, tidak semua budaya berasalkan dari ajaran agama. Bangsa Indonesia beruntung memiliki budaya yang lahir dari kalangan kiai dan santri. Karena itu, kearifan lokal tersebut harus dilestarikan.
 
Penegasan tersebut disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Koordinator Wilayah Jawa Tengah, KH Marsudi Syuhud.
 
Hal itu disampaikannya pada Lailatul Ijtima dan Refleksi Hari Santri yang digelar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah di kantor NU setempat, Jalan dr Cipto 180 Kota Semarang, Senin (14/10).
 
"Indonesia beruntung memiliki budaya yang berasal dari santri," ucapnya. 
 
Dalam kesempatan tersebut, Kiai Marsudi menerangkan budaya cadar yang banyak dipropagandakan sebagai syariat Islam.
 
"Budaya itu hasil dari pemikiran. Lah kalau budaya itu dilandasi ajaran Islam, maka menjadi budaya yang islami," jelasnya.
 
Budaya-budaya yang ada di masyarakat dan itu bertahan lama turun-temurun sampai sekarang sehingga orang meyakini, bahwa kalau ditinggalkan seolah-olah ada sesuatu yang hilang.
 
"Budaya yang tidak dimiliki di negara lain, dan itu hanya ada di nusantara ini yaitu budaya kumpal-kumpul," ungkapnya.
 
Dijelaskannya, salah satu budaya kumpul yang melekat pada individu dari lahir ada budaya puputan yang sekarang disebut walimatut tasmiyyah, tedak siten atau turun tanah, supit yakni sunatan, lamaran, mantu atau pernikahan, tak lama berselang kupatan, saat hamil ada budaya mitoni, dan terus berulang.
 
"Itu budaya yang digerakkan oleh kiai dan santri," tegasnya.
 
Menurutnya, kiai dan santri mempunyai cara, model atau gaya tersendiri sehingga selalu diikuti, mulai dari kata atau istilah yang keluar dari santri. 
 
"Negara kita memiliki majelis permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat, itu bahasa santri," bebernya.
 
Dia menerangkan persoalan kasus radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Berdasar pada pengalamannya di beberapa belahan dunia, pelaku kekerasan dan perusakan yang dilakukan atas nama agama tersebut terus merembet dan direncanakan sampai Indonesia. 
 
"Sudah ada yang memprogramkan membawa perang itu di sini (Indonesia,red)," terangnya.
 
Kiai Marsudi bersyukur di Indonesia ada budaya kumpul. Karena setiap saat, setiap persoalan dapat diselesaikan dalam budaya kumpul.
 
Sementara, sebelumnya Rais PWNU Jateng KH Ubaidillah Shodaqoh dalam sambutannya menyatakan Kiai Marsudi dikenal pandai bersyair. Melalui syair dapat membuat hati menjadi teduh. 
 
"Melalui syair-syairnya kita dibawa wushul, bisa nembus ke hati," kata Kiai Ubaid.
Sastra, lanjutnya, merupakan salah satu media untuk melembutkan hati. 
 
"Banyak sekali kekerasan siswa dan arogansi mahasiswa karena gagal mengapresiasi karya seni," tuturnya menyoroti fenomena kekerasan dalam pendidikan.
 
Menyikapi UU Pesantren, Kiai Ubaid mengatakan sebagai sebuah produk perundang-undangan yang mengakomodir pesantren tanpa merubah kultur dan tradisi pesantren.
 
"Pesantren itu tulang punggung Nahdlatul Ulama," tegasnya. 
 
 
Pewarta: A Rifqi H
Editor: Ibnu Nawawi