Nasional

Ketum PBNU: Ulama Itu Orang yang Memandang Manusia dengan Mata Kasih Sayang

Sab, 9 April 2022 | 09:00 WIB

Ketum PBNU: Ulama Itu Orang yang Memandang Manusia dengan Mata Kasih Sayang

“Maka ulama ini akan sungguh-sungguh berpikir secara mendalam supaya jangan sampai tindakan-tindakannya menimbulkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.”

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyebutkan beberapa kriteria hakikat seorang ulama. Salah satunya, ulama adalah orang yang mampu memandang umat dengan kacamata kasih sayang. Ia memastikan, seorang ulama akan bertindak untuk kemaslahatan umat dan tidak akan pernah menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat. 


“Al-ulama yanzhuruna ilal ummah bi ‘aynir rahmah. Ulama itu memandang kepada umat dengan pandangan kasih sayang untuk sungguh-sungguh menginginkan dan mengikhtiarkan kemaslahatan bagi umat. Tidak sembarangan memperturutkan emosi atau kepentingan-kepentingan parsial,” kata Gus Yahya dalam Dialog Buka Puasa Bersama bertajuk 'Hakikat Ulama dan Keulamaan', di Kanal Youtube BKN PDI Perjuangan (https://youtu.be/GuDgc7DM7a0), Jumat (8/4/2022). 


Menjadi seorang ulama itu, lanjut Gus Yahya, dibutuhkan ilmu yang bukan hanya berupa kumpulan informasi kognitif tentang wacana-wacana keagamaan, tetapi juga ilmu yang menjadi energi rohani sehingga tersambung langsung kepada hidayah Allah. 


“Maka ulama ini akan sungguh-sungguh berpikir secara mendalam supaya jangan sampai tindakan-tindakannya menimbulkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat,” kata putra dari ulama kenamaan yang dimiliki NU, KH Cholil Bisri ini.


Gus Yahya menyebut bahwa orang-orang yang kerap mengenakan atribut ulama tetapi justru mendorong pada perilaku kebencian dan kemarahan di antara kelompok masyarakat, bahkan mengobarkan kedengkian kepada pemimpin negara adalah mereka yang berpikir tidak terlalu dalam. 


“Dia berpikir tidak terlalu dalam bahwa dengan melakukan itu semua, sebetulnya dia memicu kerusakan untuk semua orang. Tidak akan ada yang mendapatkan maslahat dari apa yang dilakukan,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu. 


Menurut Gus Yahya, masyarakat bisa dikelola dengan baik apabila tercipta ketertiban sosial, sedangkan simpul dari tertib sosial adalah pemimpin. Dengan begitu, upaya mendiskreditkan pemimpin sama dengan merusak ketertiban sosial dan membuat kerusakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. 


“Masyarakat tidak mungkin dibawa pada kemaslahatan atau kesejahteraan di tengah-tengah kekacauan. Maka kalau ada yang mengobarkan kebencian pasti dia tidak memandang kepada umat ini dengan pandangan kasih sayang, dia tidak sayang kepada umat,” katanya. 


Cara Mencari Guru

Gus Yahya mewanti-wanti umat Islam agar berhati-hati dalam upaya mencari guru. Secara norma di dalam tradisi pesantren, tidak dianjurkan untuk asal atau sembarangan menganggap siapa pun bisa menjadi guru.


“Tetapi dianjurkan untuk melihat dan mengamati dulu apakah ini orang yang dalam kesehariannya sungguh-sungguh hidup dengan norma syariat yang benar, bukan hanya omongannya saja,” jelasnya.


Ia mengutip sebuah kalimat mutiara yang diungkapkan Ibnu Athaillah Assakandari di dalam Kitab Al-Hikam. Kalimat itu berbunyi, “Jangan kamu bergabung dengan orang yang ucapan-ucapannya tidak membangkitkan ingatan kepada Allah dan ketika memandang wajahnya tidak membangkitkan kecintaan kepada Allah.”


Gus Yahya memaknai untaian Ibnu Athaillah itu sebagai cara untuk mengukur kualitas seseorang untuk dijadikan guru. Ukuran yang mesti digunakan bukan hanya soal kualitas ceramah, tetapi juga kualitas rohani. 


“Jadi apakah orang itu ceramahnya bagus atau tidak, itu bukan ukuran, tetapi (ukurannya) yang sungguh-sungguh punya kualitas rohani yang dapat menyambungkan kita pada hakikat semangat keagamaan itu sendiri,” pungkasnya. 


Kriteria Ulama Anutan

Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam bukunya Secercah Tinta (2012) menyebutkan beberapa kriteria ulama anutan atau yang dapat diikuti. Pertama, orang-orang yang mewarisi akhlak Nabi Muhammad. Kedua, mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik dengan ilmu-ilmu yang dimiliki. Ketiga, tidak membuat kerusakan di muka bumi. Keempat, mampu hidup berdampingan dengan sesama makhluk Allah.


Menurut Habib Luthfi, istilah ulama sendiri merujuk kepada seseorang yang mumpuni dalam bidang ilmu agama, berakhlak baik, menjadi teladan hidup bagi masyarakat, dan sifat-sifat mulia lainnya.


Ulama adalah orang yang senantiasa mengisi sendi-sendi kehidupan dengan laku positif sehingga berdampak kebaikan secara luas. Keberadaan ulama mendatangkan rahmat, bukan laknat. Dakwahnya juga merangkul, bukan memukul, mengajak bukan mengejek.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan