Nasional

KH Ma’ruf Amin: Kebanyakan Syariat Lahir dari Ijtihad

Sab, 26 Agustus 2023 | 21:00 WIB

KH Ma’ruf Amin: Kebanyakan Syariat Lahir dari Ijtihad

Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin saat menghadiri Haul KH Aqil Siroj ke-34 dan Tasyakkur Khotmil Qur’an dan Juz Amma di Pondok Pesantren Kiai Haji Aqil Siroj (KHAS) Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (26/8/2023). (Foto: Setwapres)

Jakarta, NU Online
Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin mengungkapkan bahwa mayoritas hukum-hukum syariat muncul dari ijtihad-ijtihad para ulama. Ijtihad ini dilakukan dengan pengembangan dari sumber teks-teks atau nash utama yakni Al-Qur’an dan hadits.


Wapres mengatakan bahwa nash itu terbatas, sementara kejadian-kejadian seiring perkembangan zaman terus muncul dan membawa hal-hal baru yang perlu dijawab. Jika tidak mendapatkan jawaban, maka akan terjadi kekosongan solusi yang bisa dipedomani umat.


"Kebanyakan syariah itu lahirnya dari ijtihad. Nash (dalil teks) itu tidak sampai 1/10. Artinya tidak sampai 10%. Jadi yang lainnya itu ijtihad. 90% lebih itu ijtihad,” ungkapnya saat menghadiri Haul KH Aqil Siroj ke-34 dan Tasyakkur Khotmil Qur’an dan Juz Amma di Pondok Pesantren Kiai Haji Aqil Siroj (KHAS) Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (26/8/2023).


Persentase itu lanjut Kiai Ma’ruf diungkapkan oleh Imamul Haramain yang hidup pada tahun 450 M. Artinya pada ribuan tahun silam sudah banyak ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan sebuah hukum. Apalagi di zaman modern saat ini yang sudah mestinya ijtihad para ulama memiliki porsi yang lebih banyak dari ribuan tahun lalu.


Di sinilah menurut Wapres, pesantren di era saat ini memiliki peran penting dalam mencetak para generasi yang mutafaqqih fiddin (memiliki kompetensi dalam bidang agama). Seiring dengan perubahan dan tantangan zaman, pesantren juga harus bisa menjadi tempat mencetak para ulama yang mampu beristinbat (membuat keputusan hukum) berdasarkan sumber-sumber utama agama dan juga menjadi mujahid (orang yang melakukan ijtihad).


"Karena apa? Karena banyak masalah-masalah baru yang belum ada di kitab-kitab muktabarah itu. Jadi itu namanya masalah-masalah masail jadidah (masalah baru)," ungkapnya sebagaimana dalam tayangan Youtube NU Online.


Masalah-masalah baru yang muncul seperti persoalan politik, persoalan sosial, persoalan ekonomi ini perlu dilakukan ijtihad oleh kalangan pesantren. Termasuk masalah-masalah lama yang mengalami proses pembaruan (masail mustajaddah).


Wapres mencontohkan masail mustajaddah seperti akad jual beli yang mensyaratkan adanya akad menjual dan membeli. Di era saat ini proses tersebut nyaris tidak dilakukan lagi karena transaksi jual beli dilakukan secara online. Jadi menurutnya, perlu ada hukum baru sebagai payung hukum permasalahan ini yang merupakan sebuah ijtihad.


Selain itu, pesantren juga merupakan penyambung yang memadukan pandangan di masa lalu dan masa kini untuk meredam kebingungan di masyarakat.


"Modelnya listrik. Listrik itu kan sebelum masuk ke rumah harus ditransmisi dulu baru dibagi. Kalau tidak, kebakaran," katanya menganalogikan pesantren dengan sambungan listrik. 


Pasalnya, jika tidak ditransmisikan oleh ulama, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahpahaman penafsiran di masyarakat.


"Nah makanya banyak orang kebakaran, pendapat-pendapat muncul menghantam orang-orang dulu karena dia tidak melalui transmisi. Tidak ada sambungan. Tidak sambung," tambahnya. 


Di pesantren inilah, katanya, transmisi ini disambungkan sehingga ilmu orang dulu dan ilmu orang sekarang itu tidak terjadi konslet, tidak terjadi kesalahpahaman dan tabrakan.


"Kalau terjadi tabrakan-tabrakan, itu tidak mesantren dia, tidak mengalami transmisi, tidak paham," imbuhnya.