Nasional PIDATO KEBUDAYAAN KIAI SAID

Kiai Said: Santri, Kiai, dan NU Punya Komitmen Kebangsaan yang Kokoh

Sel, 22 Oktober 2019 | 15:30 WIB

Kiai Said: Santri, Kiai, dan NU Punya Komitmen Kebangsaan yang Kokoh

Ketum PBNU KH Said Aqil Siro menyampaikan pidato kebudayaan, Selasa (22/10) malam di Jakarta (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Santri memiliki peran yang besar dalam rangka memperjuangkan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal tersebut terbukti dalam fakta sejarah 10 November 1945 yang dijadikan sebagai Hari Pahlawan.
 
"Fakta sejarah ini merupakan bukti kuat dan nyata bahwa santri, para kiai, dan Nahdlatul Ulama memiliki komitmen kebangsaan dan komitmen keindonesiaan yang kokoh," kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj saat menyampaikan pidato kebudayaannya pada Hari Santri 2019 di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (22/10).
 
Kiai Said menceritakan bahwa semula Bung Tomo menginginkan penyerangan terhadap NICA dilakukan pada 9 November 1945. Namun, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari meminta untuk menundanya karena menunggu kedatangan ‘Singa’ dari Jawa Barat, yakni Kiai Abbas Abdul Jamil dari Buntet Pesantren Cirebon.
 
"Setibanya di Surabaya, Kiai Abbas dan Bung Tomo bersepakat untuk melakukan penyerbuan terhadap penjajah. Dengan teriakan takbir, Allahu Akbar, Kiai Abbas dan Bung Tomo bersama arek-arek Suroboyo dan sekitarnya melawan sekutu NICA," jelas Kiai Said.
 
Kiai Said menegaskan bahwa takbir tersebut bukan untuk menyerang sesama anak bangsa,bukan pula untuk menyebarkan kebencian. Akan tetapi, pekik takbir untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah. Hal tersebut berdampak besar menewaskan Brigjend Mallaby dengan bom yang dilemparkan oleh santri Tebuireng bernama Harun yang juga meninggal pada peristiwa tersebut.
 
Peristiwa tersebut lahir dari Fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tepat 74 tahun lalu, 22 Oktober 1945. Fatwa tersebut mewajibkan seluruh bangsa, tua, muda, kaya, miskin, perempuan, laki-laki untuk melawan penjajah.
 
"Peristiwa sejarah itulah yang dijadikan momentum ditetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri," katanya.
 
Hari Santri ini diperingati, katanya, untuk emmbangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah, meneguhkan komitmen kebangsaan, dan melunasi janji para pendiri bangsa yang telah diteladankan oleh santri-santri terdahulu.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan