Nasional

Kisah Sedih Nabi Muhammad di Balik Peristiwa Isra’ Mi’raj

Rab, 7 Februari 2024 | 22:30 WIB

Kisah Sedih Nabi Muhammad di Balik Peristiwa Isra’ Mi’raj

Ilustrasi Isra' Mi'raj. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zakky Mubarak menceritakan dua kisah sedih yang dialami Nabi Muhammad di balik peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab. Tahun ini, peringatan Isra’ Mi’raj bertepatan pada 8 Februari 2024. 


Kiai Zakky mengatakan, peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad menyisakan kisah sedih yang mendalam, yang dikenal sebagai Amul Huzni atau tahun-tahun kesedihan. Amul Huzni sangat berkaitan erat dengan peristiwa Isra’ MI’raj. Pada tahun itu, hati Nabi Muhammad merasa sangat sedih. 


“Salah satu yang membuat Nabi Muhammad begitu sedih lantaran beliau ditinggalkan oleh dua orang yang begitu beliau dikasihi. Dua orang yang selama ini menjadi penjaga bagi Nabi Muhammad, yakni istri beliau Sayyidah Khadijah dan pamannya Abu Thalib wafat,” kata Kiai Zakky dalam tulisannya di NU Online berjudul Hari-hari Penuh Duka Menjelang Isra' Mi'rajdikutip pada Rabu (7/2/2024). 


Tak berhenti sampai di situ, kesedihan Nabi Muhammad berlanjut karena banyaknya tekanan dari orang-orang Quraisy. Hampir setiap hari Nabi menghadapi permusuhan dan penghinaan dari kaumnya, hingga pernah dilempari dengan tanah yang kotor dan mengenai seluruh kepalanya.


Hal itu, terang Kiai Zakky, disaksikan langsung oleh putri tercinta Nabi, Sayyidah Fatimah, sehingga membuat hati Fatimah pilu dan merasakan kesedihan mendalam. Melihat reaksi putri tercintanya Nabi Muhammad bersikap sangat bijak sembari berkata: “Jangan menangis anakku, sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu.”


Kisah yang ditulis Kiai Zakky di NU Online itu dikutip dari Kitab Hayatu Muhammad halaman 186 karya Muhammad Husen Haikal. 


Tak hanya itu, kesedihan Nabi Muhammad seolah tak ada habisnya. Kali ini Nabi melakukan perjalanan dakwah ke Thaif, berharap penduduk di sana mau menerima dakwahnya. Namun harapan itu tidak berbuah manis.


Penduduk Thaif enggan menerima dakwah dari Nabi Muhammad. Bahkan penolakan penduduk Thaif dilakukan secara kasar. Mereka mengusir Nabi dengan melempari batu yang membuat luka pada kaki Nabi sampai mengucurkan darah hingga melekat di sandalnya karena darah yang mengering. 


Menghadapi penghinaan yang teramat keras, Nabi tidak mengutuk mereka, tetapi justru berdoa: ”Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengetahui”.


“Di tempat itu (di bawah pohon anggur milik Uthbah dan Syaibah) beliau menengadahkan tangan ke langit, hanyut dalam suatu doa pengaduan yang sangat mengharukan,” jelas Kiai Zakky.


Berikut doa Nabi Muhammad:

“Wahai Allah Tuhanku, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku dihadapan sesama manusia. Wahai Allah Yang Maha Kasih dari segala kasih, Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku. Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak perduli semua itu. Rahmat dan karunia-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu." (Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad, halaman 187).


Atas kesedihan dan kesusahan yang dialami Nabi Muhammad itulah, Allah memberikan hadiah berupa peristiwa Isra’ Mi’raj. Perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina, lalu dilanjutkan menuju Sidratul Muntaha untuk bertemu langsung dengan-Nya.


Perjalanan yang dilakukan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa merupakan bagian dari perjalanan untuk menghibur Nabi atas kesedihan yang telah dialaminya.