Nasional

Komnas Perempuan: KDRT Kontraproduktif dengan Tujuan Pernikahan

Sel, 8 Februari 2022 | 14:00 WIB

Komnas Perempuan: KDRT Kontraproduktif dengan Tujuan Pernikahan

Ilustrasi kekerasan.

Jakarta, NU Online
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menegaskan bahwa seharusnya kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi, lantaran kontraproduktif dan berlawanan dengan tujuan utama pernikahan.

 

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang harmonis, menciptakan ketentraman secara lahir dan batin. Hal itu kontraproduktif dengan perlakuan KDRT,” katanya dalam keterangan yang diterima NU Online, Selasa (8/2/2022).

 

Dikatakan Maria, tidak hanya melukai secara fisik KDRT juga dapat menimbulkan luka psikis berkepanjangan bagi perempuan yang menjadi korban. Untuk itu, KDRT tidak seharusnya dinormalisasi dan ditutup-tutupi.

 

“Kekerasan yang dialami seseorang tidak hanya membawa dampak sakit dan luka pada fisik, luka batin yang disebabkan kekerasan verbal juga dapat memberikan dampak besar bagi kelangsungan hidup korban,” katanya lagi.

 

Faktor Pemicu KDRT
Lebih lanjut, tokoh kelahiran Indramayu ini pun menyebutkan beberapa faktor pemicu terjadinya KDRT. Ada yang disebabkan perebutan kekuasan, masalah keuangan, atau memang ada kecenderungan sadisme pada salah satu pasangan.

 

“KDRT bisa terjadi karena suami atau istri kurang matang secara emosional, bisa juga karena masalah ekonomi, atau rasa frustasi. KDRT tidak berdiri sendiri, selalu ada yang melatarbelakangi,” terangnya.

 

Untuk itu, ia mengajak kepada masyarakat agar dapat mengetahui pentingnya perlawanan terhadap bahaya kekerasan di ranah domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Salah satunya dengan melakukan konseling pranikah.

 

“Idealnya dilakukan konseling pranikah untuk mengetahui karakter kepribadian, mengenal situasi yang berpotensi timbulkan masalah, latar belakang keluarga pasangan, isu-isu dalam keluarganya," terang Maria.

 

Hal senada juga disampaikan Nawal Arafah Yasin. Sebagai pemerhati pendidikan ia menyebut, pendidikan pranikah (justru) harus diberikan kepada remaja atau siswa-siswi yang sudah memasuki usia pranikah, yakni usia 17- 18 tahun.

 

“Pendidikan dapat dilakukan di lingkungan pendidikan SMA, SMK, MA, atau pondok pesantren yang di desa-desa bekerja sama dengan pemerintah desa,” jelas Ketua Badan Kerjasama Organisasi dan Wanita (BKOW), Jawa Tengah itu.


 
Menurutnya, para remaja yang telah masuk usia pranikah dan pasangan calon pengantin, harus dibekali 10 pengetahuan penting di antaranya, menyangkut Undang Undang tentang Perkawinan, UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan UU tentang Perlindungan Anak.

 

“Selain itu juga harus mengetahui pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual, relasi dan pembagian peran atau tanggung jawab yang adil antara suami dan istri,” tutur istri dari Wakil Gubernur Jawa Tengah itu.


 
Ia melanjutkan, pendidikan pranikah juga sebagai salah satu upaya pencegahan pernikahan anak, oleh karenanya pemerintah dan masyarakat mempunyai peran penting dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 
Selain itu, tambah Nawal, tantangan keluarga di era teknologi atau modern pun, semakin kompleks, sehingga pendidikan agama dalam keluarga juga harus diketahui.

 

“Harus ada tanggung jawab dan peran keluarga dalam pembangunan, ada komunikasi dan manajemen konflik dalam rumah tangga, serta mengetahui manajemen keuangan dalam rumah tangga,” imbuh dia.

 

Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Aiz Luthfi