Nasional

Kontra Narasi atas Ideologi Khilafah Tetap Diperlukan, Tapi…

Jum, 31 Juli 2020 | 03:00 WIB

Jakarta, NU Online
Hingga saat ini, narasi pendirian nagara khilafah di media online dan media sosial masih sangat banyak. Sering kali, narasi-narasi tersebut juga menunggangi isu yang berkembang dan kerap membelokkannya menjadi narasi yang berbeda. Dalam keadaan demikian, kontra narasi terhadap ideologi khilafah masih sangat diperlukan, terutama dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara.


“Harus ada kontra narasi baru untuk memerangi propaganda khilafah. Bisa berupa narasi kebangsaan dan narasi ke-Pancasila-an. Intinya, masyarakat harus diberi kesadaran untuk berperan menggunakan kemurnian berpikir dan bertindak untuk menyelamatkan Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah perilaku Pancasila itu sendiri,” papar Pakar Hukum Pidana Indonesia Prof Syaiful Bakhri, di Jakarta beberapa waktu lalu.


Ia menambahkan agar dalam membangun narasi, tidak melupakan kerangka ilmiah yang dapat mudah dimengerti. “Ini mesti dibuat kontra narasi secara cerdas dengan melibatkan berbagai kaidah keilmuan dengan distimulasi lagi agar bisa diterima rasional oleh masyarakat dan tidak semata-mata berupa doktrinal,” tandas Syaiful.


Ia menyebut, narasi khilafah tidak segan-segan menggunakan momentum apapun untuk menjadi bahan propagandanya, termasuk isu pandemi Corona, atau komunisme dalam sengketa kasus RUU HIP. Dalam berbagai kesempatan, kerap kali narasi khilafah menyelinap dan menggunakan keadaan untuk mempromosikan konservatisme dan sering pada akhirnya mendorong ideologi khilafah.


Mempertimbangkan Dialog

Pentingnya membangun narasi terhadap konservatisme juga diakui oleh stand-up comedian perempuan Sakdiyah Makruf. Kendati demikian, Sakdiyah Makruf mengingatkan agar dalam membangun kontra narasi untuk tidak melupakan upaya untuk membangun komunikasi antar kelompok agama.


Sehingga kelompok yang membangun kontra narasi juga perlu mempertimbangkan efek kontra narasi yang dibangun. Hal ini agar tidak sampai memupus kemungkinan terbangunnya hubungan dengan kelompok-kelompok lain terutama yang berusia muda yang sedang gandrung belajar melalui forum yang kerap disebut ‘liqa’.


Menurutnya, anggota kelompok liqa yang relatif berusia muda ini perlu didekati secara persuasif, dengan melakukan pendekatan pertemanan, untuk membuat mereka terbuka dalam bertukar pikiran. Sehingga ‘serangan’ kontra narasi yang tidak terkontrol hanya akan membuat kelompok ini menutup diri dan enggan menerima pendapat orang lain.


“Kalau boleh kritik begini. Kritik kita terhadap konsevartisme yang saking semangatnya melawan Wahabisme, sering tidak terlalu memperhatikan upaya dialog pada kelompok yang muda-muda. Misalnya liqa-liqa kecil semester satu atau dua bangku kuliah yang kalau mendengarkan gagasan progresif keragaman kita itu suka jadi merasa diserang, karena tidak sama dengan pengajiannya mereka. Saran saya kedepankan upaya dialog, bukanya dengan hanya ‘melawan-melawan’ gitu,” ujar Sakdiyah dalam Talk Show Peci dan Kopi beberapa waktu lalu.


Sakdiyah berharap dengan mengedepankan kemungkinan membangun dialog tersebut, upaya kontra narasi terhadap kelompok yang dianggap konservatif dilakukan dengan lebih lembut, sehingga memungkinkan lahirnya hubungan baik antara kelompok masyarakat.


Pewarta: Ahmad Rozali

Editor: Muhammad Faizin