Nasional

Krisis Iklim Makin Mengkhawatirkan, Indonesia Tak Boleh Lengah

Sel, 5 Desember 2023 | 22:30 WIB

Krisis Iklim Makin Mengkhawatirkan, Indonesia Tak Boleh Lengah

Ilustrasi krisis iklim. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memaparkan kesuksesan Indonesia menurunkan emisi karbon antara tahun 2020 hingga 2022 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G77 dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam rangkaian World Climate Action Summit (WCAS) COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Jumat (1/12/2023).


Jokowi menyebut Indonesia sukses menurunkan emisi karbon hingga 42 persen dibandingkan dengan perencanaan Business as Usuall (BAU) tahun 2015. Jokowi juga menyebut sudah bekerja keras untuk memperbaiki pengelolaan Forest and Other Land Use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. Indonesia terus menjaga dan memperluas mangrove dan merehabilitasi hutan dan lahan, serta menurunkan deforestasi pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir.


Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad mengatakan klaim kesuksesan Presiden Jokowi terhadap upaya penurunan emisi karbon dan deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun, tidak boleh membuat negara ini lengah terhadap krisis iklim yang makin mengkhawatirkan. 


“Indonesia harus tetap tegas menuju titik akhir net-zero emisi dengan menyapih bahan bakar fosil, apalagi mengingat bahwa data dan fakta harus dilihat utuh dari berbagai perspektif,” ujar Nadia melalui keterangan tertulis diterima NU Online, Selasa (5/12/2023).


Laporan terbaru Global Carbon Project (GCP) menunjukkan bahwa di tahun 2023 ini Indonesia menduduki sepuluh besar penyumbang emisi terbesar di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3% dari tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Kenaikan emisi berasal dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.


Menurut Nadia dari pencapaian yang disampaikan Presiden Jokowi, masih banyak catatan dan pekerjaan rumah yang masih tertinggal. 


“Mencermati klaim penurunan emisi tersebut bersama dengan laporan GCP terbaru, kita menggarisbawahi pentingnya pembukaan data tersebut kepada publik sebagai bentuk transparansi dan memberikan ruang partisipasi bagi publik untuk memvalidasi capaian tersebut di tingkat tapak," ungkapnya.


“Kita memang harus mengapresiasi keberhasilan pemerintah Indonesia karena telah mampu menekan laju deforestasi. Meskipun demikian, masih banyak ketidaksesuaian antar kebijakan penurunan emisi Indonesia yang justru berpotensi memberikan tekanan untuk pengalihfungsian hutan,” tegas Nadia.


Sebagai contoh, Nadia memaparkan dokumen Enhanced NDC yang masih memberikan kuota deforestasi 359 ribu hektar per tahun hingga 2030. Padahal untuk mencapai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, sudah tidak ada lagi ruang deforestasi bagi Indonesia hingga 2030. Belum lagi, ketidakselarasan antar target pengurangan emisi dari sektor energi dan kehutanan juga berpotensi memberikan ancaman deforestasi yang lebih lanjut. 


“Untuk menjalankan kebijakan bauran energi baru terbarukan, salah satunya melalui co-firing biomassa, kebutuhan pelet kayu salah satunya akan dipenuhi melalui hutan tanaman energi. Indonesia melalui kebijakan FOLU Net Sink 2030 mengejar target pembangunan hutan tanaman yang belum terealisasi seluas 6,11 juta hektar. Namun, terdapat catatan hanya ada 2,04 juta hektar yang sudah jelas dapat dikelola. Dari mana selisih kebutuhan tersebut akan diperoleh?” tambah Nadia.


Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan MADANI Berkelanjutan, Salma Zakiyah menambahkan bahwa pembangunan hutan tanaman energi untuk memenuhi target co-firing biomassa akan berpotensi menimbulkan deforestasi baru. 


“Kebijakan pengurangan emisi di sektor energi seharusnya tidak membebani upaya pengurangan emisi di sektor kehutanan dan lahan, agar tidak terjadi trade off pengurangan emisi Indonesia. Saat ini masih terdapat setidaknya 9,7 juta hektar hutan alam yang harus segera dilindungi untuk mencegah situasi di mana emisi hanya dipindahkan dari sektor ke sektor lain,” bebernya.


Salma mendorong Pemerintah Indonesia perlu memiliki komitmen politik dan mandat yang tegas dalam meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.


“Upaya komitmen politik dan mandat yang tegas dalam meningkatkan aksi iklim harus dilakukan secara berkeadilan dengan melindungi hak-hak penerima yang paling terdampak dan yang berkontribusi paling sedikit, termasuk buruh, petani, nelayan dan masyarakat adat, dengan memperhatikan hak-hak gender dan sosial, termasuk hak-hak atas tanah, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” jelasnya.


“Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi pemimpin untuk memberikan contoh konkret bagi perlindungan hutan dan pencapaian komitmen terhadap krisis iklim,” imbuh Salma.