Nasional

Lakpesdam PBNU: Menuju Pemilu 2024, NU Berdiri di Atas Semua Partai Politik

Rab, 21 September 2022 | 15:00 WIB

Lakpesdam PBNU: Menuju Pemilu 2024, NU Berdiri di Atas Semua Partai Politik

Ilustrasi: NU bukan partai politik. (Foto: NU Online/Mahbib)

Jakarta, NU Online 

Menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menentukan sikap untuk tidak mendukung salah satu partai politik dan calon presiden tertentu dengan menggunakan kendaraan NU sebagai kelembagaan. Namun, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf tetap mengizinkan warga NU atau Nahdliyin untuk bebas memilih partai politik pada Pemilu 2024 mendatang. 


Sikap itu kembali ditegaskan oleh Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU Hasanuddin Ali. Ia mengatakan, NU sebagai organisasi sosial-keagamaan memang tidak berkaitan langsung dengan politik praktis. 


“Politik NU adalah politik kenegaraan dan kebangsaan. Karena itu, NU harus berdiri di atas semua partai,” ungkap Hasan saat dikonfirmasi NU Online, pada Rabu (21/9/2022).


PBNU di masa kepemimpinan Gus Yahya saat ini juga berikhtiar untuk berdiri di atas semua partai. Hal ini terlihat dari komposisi kepengurusan PBNU masa khidmah 2022-2027 yang memasukkan nama-nama tokoh dari beragam latar belakang partai politik. Hal tersebut bertujuan agar PBNU memiliki jarak yang sama terhadap semua partai politik, sehingga membebaskan warga NU untuk memilih. 


“Tentu PBNU paham bahwa salah satu hak konstitusi warga negara adalah hak untuk memilih dan dipilih, karena itu Nahdliyin akan memilih partai atau kandidat terbaik yang tidak merugikan NU dari mana pun latar belakang partainya,” jelas Hasan. 


Preferensi Politik Warga NU

Hasanuddin Ali yang juga Founder Alvara Research Center menjelaskan tentang preferensi atau kecenderungan warga NU terhadap politik, baik saat memilih calon tertentu maupun ketika hendak memilih partai politik. 


Menurut Hasan, terdapat perbedaan kecenderungan politik antara warga NU di daerah perdesaan dan wilayah urban atau perkotaan. Ia menjelaskan, Nahdliyin di desa-desa masih menggantungkan pilihan politik mereka kepada kiai. Sementara warga NU di perkotaan cenderung independen dalam menentukan pilihan. 


“Bagi warga NU di rural (perdesaan) yang ikatan komunalnya masih cukup tinggi, dalam politik mereka masih menggunakan preferensi kiai atau tokoh masyarakat di sekitar mereka. Sebaliknya, warga NU yang di urban cenderung rasional dalam berpolitik. Mereka semakin independen dalam menentukan siapa yang mereka pilih,” ungkap Hasan. 


Pedoman Berpolitik Warga NU

NU telah memiliki pedoman berpolitik bagi warganya. Pedoman ini dicetuskan dalam Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta, pada tahun 1989. 


Abdul Munim DZ dalam buku Piagam Perjuangan Kebangsaan (2011) disebutkan, pedoman berpolitik ini diputuskan dengan mempertimbangkan arah pembangunan politik yang dicanangkan dalam Garis Besar Haluan Negara. Lebih dari itu, sebagai usaha untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan demokrasi Pancasila. 


Pedoman ini diharapkan agar warga NU dapat menggunakan hak-hak politiknya dan ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab sehingga dapat menumbuhkan sikap hidup demokratis, konstitusional, serta membangun mekanisme musyawarah-mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama. 


Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU

Pertama, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945


Kedua, politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
 

Ketiga, politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.


Keempat, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Kelima, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.


Keenam, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah.


Ketujuh, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.


Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.


Kesembilan, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut komunikasi kemasyarakatan timbal-balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad