Nasional

Langkah Mengakhiri Pertikaian di Media Sosial menurut Inayah Wahid

Sel, 30 Juli 2019 | 06:56 WIB

Langkah Mengakhiri Pertikaian di Media Sosial menurut Inayah Wahid

Inayah Wulandari Wahid, Founder Positive Movement, saat mengisi Dialog Kepemudaan dengan tema Generasi Muda Pelopor Persatuan Pascapilpres 2019, di Kampus Salemba Universitas Indonesia, Gedung IASTH lantai 3, Jalan Salemba Raya, Jakarta, Rabu lalu.

Jakarta, NU Online
Pemilihan presiden (pilpres) memang sudah berakhir. Pihak yang kalah juga telah mengakui kemenangan lawannya. Bahkan, kedua kontestan telah melakukan rekonsiliasi dengan bertemu pada beberapa waktu lalu.

Namun, sebagian oknum masih meramaikan dengan berbagai provokasi dan ujaran kebencian yang tidak kunjung berhenti. Mereka seakan tidak rela dengan adanya rekonsiliasi yang dilakukan oleh kontestan. Tak ayal, hawa media sosial masih terasa begitu panas.

“Kita bisa melihat bagaimana ada banyak orang rekonsiliasi bukan suatu yang baik bagi mereka,” kata Inayah Wulandari Wahid, Founder Positive Movement, saat mengisi Dialog Kepemudaan dengan tema Generasi Muda Pelopor Persatuan Pascapilpres 2019, di Kampus Salemba Universitas Indonesia, Gedung IASTH lantai 3, Jalan Salemba Raya, Jakarta, Rabu lalu.

Inayah memang meyakini ke depan tidak akan ada lagi rivalitas cebong dan kampret. Tetapi bukan berarti persoalannya selesai. Pasalnya, pertarungan yang akan terjadi bukan lagi mengatasnamakan dua istilah tersebut, tetapi lain lagi. “Nanti gak akan ada lagi cebong kampret. Kan yang bertarung beda,” ujarnya.

Menurutnya, sentimen yang akan dibangun ke depan adalah antara orang kedua dan orang pertama banyak, you and us. Jangankan imbas dari Pilpres 2019, katanya, Pascapilkada 2017 aja masih ada. “Gara-gara pilkada 2017, bambu aja bisa jadi berantem,” jelasnya.

Melihat fakta yang sudah demikian, putri bungsu KH Abdurrahman Wahid itu menyampaikan banyak hal yang mestinya bisa dilakukan untuk meminimalisasi konflik politik, terutama bagi kalangan muda.

Hal pertama yang harus dilakukan, menurutnya, adalah meningkatkan daya dan kemampuan literasi. “Kalau buat saya kita bisa meningkatkan literasi, literasi politik, literasi digital,” katanya.

Lebih lanjut, Inayah menegaskan bahwa hal tersebut harus dimulai dari diri sendiri, tidak bisa menunggu orang lain, kelompok lain, atau institusi. Sebab, untuk meningkatkan literasi orang lain, kita sebagai orang yang berupaya untuk itu tentu harus lebih dahulu literat. Orang dengan kerendahan literasinya yang memiliki media sosial tak sedikit yang berakhir di penjara, berantem, dan lain-lain.

“Kitanya sendiri harus literate. Begitu kita literate, kita bisa membagikannya kepada orang lain,” tegasnya.

Soal lain yang muncul sebagai faktor pertikaian adalah maraknya narasi dan wacana hoaks. Tak jarang persoalan ini menyulut keributan antarindividu atau kelompok. Di grup Whatsapp keluarga saja, misalnya ia mencontohkan, saat anggota grup lain mengingatkan bahwa kabar yang dibagikan adalah hoaks membuat orang yang membagikannya tidak menerimanya. Saat itulah keributan di keluarga muncul.

Melihat hal tersebut, Inay menyarankan agar menggunakan aplikasi untuk memastikan status kabar yang diragukan kebenarannya. “Langkah yang bisa kita lakukan adalah mengecek pada kanal-kanal yang biasa dipakai untuk mengecek berita hoaks,” terangnya.

Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut, menurutnya, adalah memperkuat kebudayaan. Perempuan yang aktif bermain peran ini mengungkapkan bahwa konten kreatif, baik berupa meme, komik, dan sebagainya, yang memuat narasi inklusif dan moderat harus menjadi arus utama.

“Konten kreatif yang kemudian juga punya perspektif yang inklusif, perspektif yang moderat, itu yang kemudian menurut saya, perlu kita jadikan arus utama,” jelasnya.

Inay mencontohkan film-film Hollywood yang memunculkan superhero perempuan setelah sebelumnya hanya superhero laki-laki saja. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa narasi konten inklusif itu bukan sekadar membicarakan agama, tetapi mencakup keseluruhan elemen, seperti jender, disabilitas, dan sebagainya.

Tak ketinggalan, Inay juga menyampaikan bahwa hal yang tak kalah penting dilakukan adalah meningkatkan ekonomi dan pendidikan, bukan hanya membicarakan persaudaraan antaragama atau penanganan radikalisme, dan lainnya.

“Saya yakin kalau itu terus-menerus kita ajak ramai-ramai, ayo kita selesaikan itu PR-PR-nya, sedikit banyak itu akan mempengaruhi konflik polarisasi ini,” pungkasnya.

Terakhir, dara yang lahir pada akhir tahun 1982 itu mengungkapkan untuk membenci diri pribadi karena mudah sekali tertrigger dengan narasi kebencian di media sosial, baik setuju dengan narasinya lalu mendukungnya, atau mendebatnya mati-matian karena ketidaksepakatannya. Menurutnya, hal yang lebih penting dari itu adalah memberikan atau membagikan konten yang penting bagi khalayak. (Syakir NF/Fathoni)