Nasional

Lima Hal yang Membuat Orang Dianggap Mampu Haji

Ahad, 12 Juni 2022 | 17:00 WIB

Lima Hal yang Membuat Orang Dianggap Mampu Haji

Ilustrasi: Jamaah haji siap-siap melakukan penerbangan. (Foto: setkab.go.id)

Jakarta, NU Online

Ibadah haji wajib bagi umat Islam yang mampu sebagaimana digariskan Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 97. Mampu melaksanakan haji ini terbagi menjadi dua, yakni dengan dirinya sendiri atau mampu melaksanakan haji dengan digantikan orang lain. 


Sebagaimana dilansir tulisan NU Online: 5 Tolok Ukur Seseorang Dikatakan Mampu Berhaji, ada lima syarat seseorang bisa dianggap mampu menjalankan ibadah haji dengan dirinya sendiri, yakni sebagai berikut.


Pertama, kesehatan jasmani. Hal ini mengingat dibutuhkan tenaga ekstra saat menjalankan ibadah haji. Karenanya, kondisi badan harus benar-benar sehat dan memungkinkan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji.


Orang yang lumpuh, tua renta, atau memiliki penyakit permanen yang membuatnya tidak memungkinkan menjalani aktivitas manasik dan menempuh perjalanan jauh, bukan kategori orang yang mampu menjalankan haji dengan sendiri, tapi hukumnya menyesuaikan kemampuan finansial yang dimiliki. Bila ia memiliki dana yang cukup untuk menyewa orang lain agar menggantikan hajinya, maka wajib dilakukan.


Kedua, tersedianya sarana transportasi yang memadai, khususnya bagi orang yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci dengan jarak 2 marhalah (+81 km) atau lebih. Hal ini dapat dipenuhi dengan menyewa atau memilikinya sendiri. Ketentuan ini juga berlaku bagi orang rumahnya dekat dengan tanah suci, tetapi tidak mampu menempuh perjalanan menuju tanah haram dengan berjalan kaki.


Dalam konteks jamaah haji di Indonesia, syarat kedua ini bisa diartikan memiliki biaya sewa pesawat dan alat transportasi yang dibutuhkan selama menjalankan rukun Islam kelima itu.


Sarana transportasi yang dimaksud ini juga disyaratkan melebihi kebutuhan sandang pangan, bagi dirinya dan keluarga yang wajib ditanggung nafkahnya, terhitung sejak keberangkatan sampai pulang menunaikan ibadah haji. Demikian pula disyaratkan melebihi dari utangnya serta harta yang wajib ditunaikan untuk membantu fakir miskin yang mengalami darurat sandang pangan. Sebab dalam fiqih, membantu mereka hukumnya fardhu kifayah (wajib kolektif).


Oleh karena itu, orang yang keluarganya terkatung-katung, tetangganya kelaparan, atau utangnya menumpuk, tidak berkewajiban berangkat haji. Karenanya, perlu kesadaran yang maksimal bahwa agama hanya mewajibkan haji bagi orang yang mempunyai ongkos pembiayaan haji setelah nafkah wajib dan tanggungan kepada orang lain terpenuhi, sehingga tidak berdampak mengorbankan hak-hak orang lain yang wajib ditunaikan.


Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdullah bin Husain Thohir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi dalam kitab Sullam Al-Taufiq dan Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati dalam kitab I’anah At-Tholibin, al-Hidayah.


Ketiga, aman dalam perjalanan dan pelaksanaan haji. Maksudnya adalah terjaminnya keselamatan nyawa, harta, dan harga diri seseorang, selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji. Karenanya, jika terjadi beberapa hal yang dikhawatirkan mengancam keamanan seperti peperangan, perampokan atau cuaca buruk yang menghambat perjalanan menuju tanah suci, maka tidak wajib melaksanakan haji.


Saat ini, terjaminnya keamanan calon jamaah haji sudah sangat baik dengan pengawasan maksimal oleh pihak-pihak yang bertugas. Demikian pula dengan proses perjalanan menuju Makkah-Madinah, sudah sedemikian canggih dengan servis pelayanan yang menjamin keselamatan jamaah haji.


Keempat, perempuan yang akan melaksanakan haji disyaratkan harus didampingi suami, mahram atau sekelompok wanita yang bisa dipercaya. Hal ini tidak lain karena adanya larangan bagi perempuan menempuh perjalanan dengan sendirian (terlebih perjalanan jauh seperti haji), sehingga sangat mengkhawatirkan keselamatan nyawa, harga diri dan hartanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi dalam kitab Minhaj Al-Thalibin Hamisy Hasyiyah Qalyubi dan Umairah.


Maka, bila tidak ada suami, mahram, atau beberapa perempuan yang bisa dipercaya yang menemaninya, seorang perempuan tidak wajib haji.


Kelima, rentang waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan haji. Waktu haji yang terbatas membuat pelaksanaannya tidak seleluasa ibadah umrah. Sehingga, dalam syarat wajib haji, harus ada waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan dari tanah air menuju Makkah. Hal ini sebagaimana disampaikan Syekh Muhammad Nawawi bin Umar bin Ali Al-Jawi dalam kitabnya yang berjudul Nihayah Al-Zain.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan