Nasional LITERASI DIGITAL

Media Sosial Bisa Digunakan sebagai Medan Jihad Kebaikan di Era Digital

Sel, 27 September 2022 | 01:00 WIB

Media Sosial Bisa Digunakan sebagai Medan Jihad Kebaikan di Era Digital

Literasi digital kerja sama Kominfo dan Lembaga Dakwah PBNU di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin (26/9/2022) malam.

Jakarta, NU Online 

Pendiri Pusat Studi Pesantren (PSP), Achmad Ubaidillah mengatakan, di era digital santri ditantang untuk menjadikan sosial media sebagai panggung atau medan jihad kebaikan untuk mendidik publik dari disrupsi informasi seperti ujaran kebencian, hoaks, dan narasi agama yang jauh dari kebaikan.


“Era digital harus menjadi panggung kita bersama untuk masuk tidak hanya menjadi konsumen tapi juga produsen. Kata kunci ini harus menjadi pekerjaan dan tantangan kita,” kata Gus Ubaid mengisi literasi digital kerja sama Kominfo dan Lembaga Dakwah PBNU di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin (26/9/2022) malam.


Lebih lanjut ia mengatakan bahwa munculnya fenomena yang mengatasnamakan Islam dan radikal salah satu penyebabnya adalah keterlambatan Muslim moderat dalam merespon informasi teknologi di sektor konten dalam berbagai platform media sosial.


“Kita pesantren yang masuk dalam dunia moderat Muslim cenderung terlambat merespon teknologi informasi yang  berkembang hari ini sehingga wajar ketika masuk dalam search engine kata kunci ‘Ustadz’ misalnya, yang muncul bukan berasal dari kalangan pesantren,” ungkapnya.


Padahal dalam konteks menjelaskan ajaran Islam ada yang lebih otoritatif yakni pesantren. Namun karena keterlambatan merespon teknologi, kata dia, akhirnya medsos sebagai panggung pasar bebas gagasan justru dikuasai pihak lain sebab konten tersebut lebih awal dibanjiri oleh kelompok Muslim yang teks keagamaan jauh dari kata otoritatif.


Suara pesantren sebagai gerakan 

“Ini menjadi tantangan bersama oleh karena itu saya dan teman-teman menawarkan gagasan bernama ‘suara pesantren’ sebagai sebuah gerakan,” imbuhnya.


Suara pesantren ini, jelas dia, merupakan sebuah harapan agar seluruh pesantren di Indonesia yang berjumlah lebih dari 34.000 itu atau semua pesantren dengan komunitas santri populasinya berjumlah 3-5 juta lebih, turut  bersuara menjelaskan tentang hukum fiqih dan lain sebagainya.


"Maka konten- konten yang menjadi kata kunci dalam search engine google akan dibanjiri oleh masyarakat atau civitas pesantren," jelasnya.


Konten kreator dari AIS Nusantara, Muallif Wijdan Kayis menambahkan terkait dengan perkembangan informasi ada tiga hal yang perlu dipahami untuk menunjang teknologi ini. Di antaranya kecakapan digital, infrastruktur, dan akses.


“Dari tiga hal itu yang paling rendah adalah kecakapan digital kita. Kecakapan digital ini artinya kita mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat teknologi dengan baik. Sekarang teknologi sangat beriringan dengan kita hatta sebelum kita lahir sekalipun,” terang penulis Kitab Medsos itu.


Dalam kesempatan itu, Kayis juga membeberkan konsep dakwah yang relevan di media sosial. Pertama, mengerti skup atau arah keberadaan santri. Jadi basisnya santri itu pendalaman ilmu seputar Islam maka buatlah konten keilmuan seputar dunia Islam.


“Kita fokus seputar keislaman, pesantren dan lain sebagainya yang menggambarkan wajah Islam rahmatan lil 'alamin. Kedua adalah proses. Nantinya hasilnya kita proses dalam bentuk aplikatif contoh tutorial wudhu, shalat, keutamaan dan lainnya,” sebutnya.


Ketiga, tujuan. Ketika skup keislaman kontennya dikemas aplikatif tujuannya yakni untuk menjawab tantangan zaman seperti mulai berkembangnya NFT, Cripto dan lain halnya. Sementara itu mengemasnya dengan memanfaatkan media Youtube serta platform lain.


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad