Nasional BEDAH BUKU

Memberikan Pemahaman Agama yang Baik dan Benar

Sel, 24 November 2015 | 12:33 WIB

Jakarta, NU Online
Menyerap pemahaman atau informasi agama di dunia maya kerap kali berdampak pada pola pikir para Netizen dan masyarakat. Jika tanpa disaring dan dipahami secara mendalam, orang akan mudah terpengaruh dengan pemahaman agama yang dangkal sehingga menimbulkan sikap radikal dan intoleran terhadap tradisi, budaya, dan perbedaan secara keseluruhan.<>

Hal inilah yang menarik Ketua PBNU, HM Sulton Fatoni untuk menulis buku ‘Dear Felix Siauw’. Buku ini berawal dari interaksi penulis dengan Felix Siauw di media sosial twitter. Penulis buku ini berusaha memberikan koreksi terhadap pemahaman agama Felix yang membuat resah masyarakat dengan tweet-tweetnya.

“Seperti nasionalisme tak ada dalilnya, tahlilan sesat, dan ‘fatwa-fatwa’ lain yang membuat keresahan sosial di masyarakat. Hal ini menggerakkan saya untuk memberi semacam koreksi kepada dia dan para followernya, bahwa amalan keagamaan yang telah berkembang di masyarakat membawa nilai-nilai substansial agama,” ujar Sulton Fatoni saat acara bedah buku ‘Dear Felix Siauw’, Selasa (24/11) di Kampus UNU Indonesia, Jl Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat.

Felix, lanjut Sulton, seringnya memberikan ‘fatwa’ yang meresahkan tentang pemahaman dan amalan agama masyarakat di Indonesia, bukan mencerdaskan masyarakat dengan mengajaknya diskusi. Dia mengaharamkan amalan yang sudah menjadi semacam norma di tengah masyarakat. 

“Kebaikan itu nilai, untuk mewujudkan kebaikan, itulah norma. Amalan yang telah menjadi norma di masyarakat terbukti membawa kebaikan dengan makin eratnya tali silaturrahim dalam kegiatan istighotsah, misalnya, tahlil, bahkan ziarah kubur sekalipun,” ucapnya.

Hal yang dilakukan Felix ini, kata Sulton, menimbulkan goncangan sosial. Selain itu, ketertiban sosial juga terganggu. Sulton menerangkan tentang teori sosiologi yang menyatakan, bahwa jika ada satu orang membuat keresahan dan mengganggu di tengah kehidupan sosial masyarakat, orang tersebut layak untuk diusir demi kebaikan orang banyak.

“Dari kicauannya di media sosial, Felix ingin membawa semacam norma agama dari luar ke Indonesia. Jadi berusaha mengahncurkan norma masyarakat Indonesia kemudian diisi dengan norma dari luar negeri. Setelah norma tersebut diterima, dia tawarkan keimanan atas khilafah Islamiyah yang menurut dia termasuk rukun iman,” paparnya.

Dalam sesi diskusi, Sulton menerangkan, salah satu Kitab karya KH Hasyim Asy’ari tentang konsep ahlul haq dan ahlul bid’ah. Menurut Mbah Hasyim, ahlul haq yang maksud yaitu amalan-amalan kegamaan yang masyarakat Indonesia jalani, baik itu istighotsah, ziarah kubur, tahlilan, dan lain-lain sudah benar. “Sedangkan ahlul bid’ah yang beliau maksud, yaitu orang-orang sering menyalahkan amalan-amalanmu sehingga membuat resah dan risau atas keyakinan agamamu,” terangnya.

Acara bedah buku ini juga dihadiri oleh Redaktur Majalah Gatra, Asrori S Karni, pihak Penerbit Imania, Farid, dan dipandu oleh Fariz Alniezar sebagai moderator, serta hadir pula puluhan mahasiswa STAINU Jakarta dan UNU Indonesia yang memadati ruangan diskusi.

Dalam penjelasannya, Farid dari pihak penerbit buku ‘Dear Felix Siauw’ Imania menerangkan, bahwa penulis dan penerbit mempunyai semangat yang sama untuk memberikan informasi yang baik dan benar kepada masyarakat terkait ‘fatwa-fatwa’ meresahkan Felix Siauw.

“Tentu buku ini penting dibaca oleh generasi muda agar tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi radikal yang mengganggu keramahan di media sosial,” jelas Farid.

Sementara itu, Asrori S Karni juga mengatakan, buku ini memberikan pelajaran bagi kita, bahwa menulis dengan berbasis ketekunan riset sangat penting agar dapat memberi pemahaman yang utuh dan kuat. Buku ini, katanya, memberikan argumen yang menarik, isinya tantang pembelaan tradisi dan pemahaman keagamaan di tengah masyarakat Indonesia terkait ‘fatwa-fatwa’ mersahkan Felix Siauw.

“Sekarang ini, fenomena perbincangan dan perdebatan agama dana keyakinan sudah tidak terlalu sehat, terutama di media sosial. Kerap kali perdebatan menimbulkan bias pemahaman sehingga berdampak pada pemahaman keagamaan yang keliru, bahkan cenderung radikal. Sebab itu, buku ini hadir sebagai proteksi dari hal tersebut,” ucap Karni. (Fathoni)