Nasional

Menguak Modus ‘Belah Semangka’ Bantuan untuk Pesantren

Sel, 25 Mei 2021 | 09:15 WIB

Menguak Modus ‘Belah Semangka’ Bantuan untuk Pesantren

Kode ‘Belah Semangka’ ini adalah istilah yang digunakan oleh para makelar untuk meminta jatah bagian 50 persen dari bantuan yang nantinya diterima pesantren.

Jakarta, NU Online

Perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah pada pesantren terus meningkat. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren beserta turunannya. Dengan adanya UU tersebut pemerintah pusat dan daerah memiliki payung hukum untuk mengalokasikan anggaran guna membantu pesantren dengan angka yang lebih dari bantuan sebelum UU tersebut diterbitkan.


Seperti pada anggaran tahun 2020, sekitar 2,7 triliun rupiah digelontorkan pemerintah pusat untuk membantu pesantren melalui program Bantuan Operasional Pesantren (BOP). Bukan hanya dari pemerintah pusat, pemerintah daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga mengalokasikan dana untuk membantu pesantren di daerahnya.


Namun sayang beribu sayang. Anggaran yang disediakan untuk peningkatan kualitas pendidikan santri pesantren ini tidak 100 persen sampai dan nikmati oleh pesantren. Segerombolan oknum ‘makelar’ tega ‘menyunat’ anggaran tersebut dengan dalih ‘uang lelah’ untuk mengurus administrasi pencairan. Pemotongan bantuan oleh oknum tak bertanggung jawab ini tidak tanggung-tanggung. Ada yang tega meminta bagian 15-50 persen dari total bantuan.


Para oknum ‘makelar’ ini tidak melakukan aksinya sendiri. Mereka memiliki jaringan dan tidak hanya terjadi di satu daerah. Kasus pemotongan bantuan untuk pesantren ini terjadi di kabupaten dan kota di Lampung, Banten, Jawa Timur, dan berbagai daerah lainnya. Mereka melancarkan modus dengan menghubungi pesantren dan menawarkan pengurusan bantuan sampai cair dengan menggunakan istilah ‘Belah Semangka’.


Kode ‘Belah Semangka’ ini adalah istilah yang digunakan oleh para makelar untuk meminta jatah bagian 50 persen dari bantuan yang nantinya diterima pesantren. Istilah ini di antaranya digunakan oleh para oknum berhati dingin ini di Provinsi Banten dengan menawarkan bantuan langsung kepada para pengasuh pesantren.


Kasus ini pun terungkap setelah kejaksaan menetapkan tiga orang tersangka yakni seorang ustadz berinisial ES, pegawai biro kesra Pemprov Banten berinisial AG, dan pengurus pesantren berinisial AS. Dalam perkembangan, ketiga oknum ini melakukan praktik belah semangka pada dana hibah pesantren yang digelontorkan Pemprov Banten tahun Anggaran 2020 sebesar 117 Miliar lebih.


Bantuan hibah ini dialokasikan untuk 3.926 pesantren yang masing-masing mendapatkan 30 juta rupiah. Pesantren yang paling banyak mendapatkan bantuan ini berada di Kabupaten Pandeglang yang terkenal dengan julukan Negeri Seribu Ulama dan Sejuta Santri.


Penyunatan dan Penipuan BOP


Jika di Banten kasus ‘penyunatan’ bantuan untuk pesantren terjadi pada dana hibah pemerintah daerah, di Lampung terjadi juga hal serupa untuk penyunatan Bantuan Operasional Pesantren yang disalurkan melalui Kementerian Agama. Modus yang dilakukan hampir serupa yakni dengan mendatangi pesantren untuk menawarkan bantuan mengurus administrasi.


Para oknum nakal di Lampung ini meminta jatah berkira 15-30 persen dari bantuan yang diterima. Mereka menjanjikan proses yang tidak rumit termasuk pelaporan penggunaan dana alias pesantren tinggal duduk manis untuk menerima bantuan tersebut.


Banyaknya bantuan yang digelontorkan pemerintah juga dimanfaatkan oknum tertentu untuk melancarkan aksi penipuan pada pesantren. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pringsewu Lampung dan mengakibatkan beberapa pesantren menjadi korban. 


Modus yang dilakukan menurut Sekretaris Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Kabupaten Pringsewu, Hizbullah Huda (Gus Hiz) adalah dengan menghubungi pihak pesantren dan mengaku dari pemerintah daerah. Kemudian penipu meminta nomor rekening resmi pesantren yang akan digunakan untuk mentransfer dana bantuan. 


Penipu meminta nomor rekening resmi atas nama pesantren karena biasanya rekening tersebut tidak menggunakan SMS ataupun Internet Banking. Sehingga tidak ada notifikasi (pemberitahuan) jika ada dana yang masuk ke rekening dan tidak bisa dicek langsung keadaan saldonya. 


“Selang waktu tak lama, penipu mengirimkan foto bukti/slip transfer palsu yang tertulis bahwa dana bantuan telah ditransfer ke nomor rekening pesantren. Jumlahnya bervariasi mulai dari 8 juta sampai 14 juta rupiah lebih,” katanya kepada NU Online.


Setelah itu, lanjut Gus Hiz, oknum penipu ini meminta pesantren untuk mentransfer dana dalam jumlah tertentu, dengan alasan untuk membantu anak yatim piatu. Dikarenakan pengurus pesantren tidak mengecek terlebih dahulu keadaan saldo terakhirnya, maka mereka pun tertipu dengan modus ini. 


“Penipu meminta dana berkisar 2,5 juta rupiah dari pesantren,” ungkapnya. 


Berbagai modus penyunatan dan penipuan terhadap pesantren ini tentu menjadi keprihatinan yang patut untuk ditangani secara serius sehingga ke depan tidak terulang lagi. Dana yang seharusnya mampu untuk membantu para santri dalam mencari ilmu ini harus benar-benar tepat sasaran dan tidak ‘dikeruk’ oleh oknum jahat tak berprikemanusiaan.


Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengawasi dana bantuan untuk pesantren. Termasuk pihak pesantren juga tidak boleh memberi peluang kepada para oknum-oknum untuk melancarkan aksinya. Pesantren harus mampu menjalin koordinasi dan komunikasi baik dengan pemerintah sehingga ‘kebocoran-kebocoran’ dana bantuan pesantren bisa dihindari.


Pewarta: Muhammad Faizin

Editor: Fathoni Ahmad