Nasional

Minimnya Pendidikan Pranikah dan Kultur Patriarki Picu Tindakan KDRT

Sel, 26 September 2023 | 18:00 WIB

Minimnya Pendidikan Pranikah dan Kultur Patriarki Picu Tindakan KDRT

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Hj Maria Ulfa Anshor. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online

Isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seakan tak pernah surut. Minimnya pendidikan pranikah dan masih melekatnya kultur patriarki jadi salah satu sebab pemicu terjadinya tindakan KDRT. 


Hal itu diungkapkan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Hj Maria Ulfa Anshor, kepada NU Online, Selasa (26/9/2023). 


Menurutnya, pembiaran terhadap kasus KDRT juga membuat para pelaku menganggap KDRT bukanlah perbuatan yang salah. Bahkan peristiwa KDRT ini bisa terulang kembali. Terbukti dari beberapa kasus yang telah terjadi, salah satunya KDRT berujung maut yang terjadi di Cikarang. 


"Kalau membaca kronologinya, sebelum terjadi pembunuhan korban sudah melaporkan KDRT yang dialaminya kepada polisi, namun tidak ditindaklanjuti," kata Maria. 


Kelalaian dalam menindaklanjuti kasus KDRT ini, terang dia, membuat korban cenderung memilih untuk tidak memproses kasus yang mereka alami ke jalur hukum pidana. Padahal dalam konteks tersebut unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) seharusnya langsung menindaklanjuti laporan korban. 


"Lambannya proses dari pihak berwenang membuat korban tidak mau melapor bahkan mencabut laporan karena khawatir birokrasi hukum akan menghabiskan waktu, energi, dan biaya," terangnya. 


Tak hanya itu, Maria juga menyinggung soal pembuktian yang masih menjadi momok penanganan kasus KDRT. Alih-alih segera melakukan asesmen penyelamatan korban, misalnya mengevakuasi/ memisahkan korban dari pelaku, pihak berwenang seringkali masih mempersoalkan alat bukti yang menjadi hambatan korban KDRT. 


"Laporan korban KDRT seharusnya langsung mendapat tindaklanjut agar kejadian serupa tidak terulang dan korban mendapat perlindungan," jelasnya. 


"Tidak ada alasan bagi polisi untuk tidak menangkap pelakunya, karena KDRT merupakan tindakan pidana apalagi sampai merenggut nyawa seseorang," papar dia. 


Dalam pasal 44 UU PKDRT diterangkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.


Kemudian, apabila korban jatuh sakit atau mengalami luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp30 juta. 


Namun, jika korban meninggal akibat kekerasan itu, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp45 juta. 


"Jadi, ada atau tidak laporan polisi terhadap kasus tersebut, sudah jelas bahwa KDRT yang berakhir pembunuhan apalagi terhadap istrinya adalah tindak pidana yang ada hukuman pidananya," ucapnya. 


Sebagai informasi, seorang ibu muda berinisial MSD (24) tewas di rumah kontrakan di Jalan Cikedokan, Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Ibu muda ini diduga dibunuh suaminya sendiri, Nando (25) menggunakan pisau dapur.


Jauh sebelum insiden ini, korban MSD sempat melaporkan pelaku atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ke Polres Metro Bekasi pada Agustus, lalu.


Namun, sang suami alias Nando tak kunjung ditangkap hingga akhirnya menghabisi nyawa MSD.

 
Untuk Anda yang merasa membutuhkan bantuan terkait kekerasan yang dialami oleh pribadi, tetangga maupun anak, bisa langsung menghubungi kontak berikut:

  • Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA129) 129 dan WhatsApp 08111129129
  • Hotline KPPPA (0821-2575-1234)
  • Call center 119 ext. 8 (Psychological First Aid)
  • Komnas Perempuan 0821 2575 1234
  • Kementrian Sosial RI 1500 771
  • Hotline LBH Apik 0813-8882-2669 (WA)
  • Hotline P2TP2A DKI Jakarta (081317617622)