Nasional

Nawaning Nusantara Tegaskan Kenakalan Santri di Pesantren Harus Diselesaikan Tanpa Kekerasan

Ahad, 3 Maret 2024 | 09:00 WIB

Nawaning Nusantara Tegaskan Kenakalan Santri di Pesantren Harus Diselesaikan Tanpa Kekerasan

Nawaning Nusantara. (Foto: dok. Ning Firda)

Jakarta, NU Online

Seorang santri asal Banyuwangi, Bintang Balqis Maulana (14) meninggal dunia setelah dianiaya oleh senior di Pondok Pesantren Al Haniffiyah di Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. 


Merespons hal itu, Koordinator Nawaning Nusantara Dhomirotul Firdaus atau Ning Firda menegaskan, segala bentuk kenakalan yang dilakukan oleh santri tidak seharusnya diselesaikan dengan kekerasan, terutama kekerasan fisik. Dengan kata lain, bentuk kenakalan santri di pesantren harus diselesaikan tanpa kekerasan. 


"Masih banyak cara atau solusi yang bisa dilakukan misalnya berdiskusi, mediasi atau bahkan bisa memanggil orang tuanya ke pesantren untuk bekerja sama dalam menangani kenakalan pada anak atau santri," kata Ning Firda kepada NU Online, Sabtu (2/3/2024).


Ning Firda menekankan perlunya sinergi antara pengasuh, pengurus, wali santri, dan pihak terkait dalam menyelesaikan masalah pada santri tanpa menggunakan kekerasan. 


Ia juga mendorong pengasuh pesantren melakukan seleksi ketat dan pelatihan kepada para pengurus di pesantren agar mampu memberikan bimbingan yang baik kepada santri.


"Perlakukan santri sebagaimana memperlakukan sesama manusia, bukan dipukuli atau melakukan kekerasan yang lainnya," jelasnya.


Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyuarakan perlunya strategi komprehensif untuk menekan kekerasan di lingkungan pondok pesantren. 


Gus Yahya menegaskan komitmen PBNU dalam memberantas kekerasan dengan pembentukan tim khusus dan pendekatan sistemik yang ditargetkan dapat menyentuh pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia.


“Saya sudah minta kepada PBNU dan sudah membentuk tim khusus untuk masalah ini dengan pendekatan sistemik dan strategi yang komprehensif, saya kira itu ujung tombaknya adalah RMI,” kata Gus Yahya di Jakarta, Jumat (1/3/2024).


Tim khusus ini, kata Gus Yahya, serupa dengan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS) yang dibentuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) sebagai garda depan pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan. 


“Jadi kita tinggal sosialisasikan seperti di Kemendikbud dan itu rencananya kita sosialisasikan dan terapkan di tiap-tiap pondok, untuk meningkatkan kesadaran di lingkungan pesantren,” ucapnya.


Data kasus perundungan di lembaga pendidikan

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Budaya Aris Adi Leksono mengungkap sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang 2023 hampir separuh terjadi di lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren.


"Tentu lembaga pendidikan keagamaan jadi bagian itu. Selama awal 2024 belum cek jumlah pasti tapi dari awal Januari, Jawa Timur saja tiga (kasus) di lembaga pendidikan keagamaan, secara nasional cukup banyak sekali," katanya. 


Ia menyebut, bertambahnya kasus kekerasan termasuk di pesantren ini menandakan semua pihak harus bekerja maksimal memastikan dunia pendidikan aman dan nyaman.


"Selama ini secara regulasi Kemenag sudah menyiapkan itu, ada arahan, SK Dirjen tentang pesantren pengasuhan ramah anak tapi perlu dimaksimalkan implementasinya tingkat pesantren itu sendiri," ujarnya.


Idealnya, kata Aris, pesantren ramah anak harus ada pembimbing menjalankan fungsi pengasuhan alternatif. Karena pesantren punya kewajiban memberi fungsi alternatif dari orang tua.


"Perlu peningkatan edukasi literasi perlindungan anak di lingkungan pendidikan khususnya pondok pesantren. Biar anak-anak paham dan sadar mau menghindari," tegasnya.