Nasional

Ngaji Suluk Maleman Bahas Ilmu Titen Orang Jawa dalam Penentuan Cuaca

Rab, 23 Maret 2022 | 14:00 WIB

Ngaji Suluk Maleman Bahas Ilmu Titen Orang Jawa dalam Penentuan Cuaca

Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman. (Foto: dok. Suluk Maleman)

Jakarta, NU Online

Persoalan cuaca ekstrem yang terjadi beberapa waktu terakhir turut menjadi perbincangan dalam Suluk Maleman edisi ke-123, akhir pekan kemarin. Dalam forum dengan tajuk Ngaji ngAllah itu, turut disinggung bahwa orang Jawa sebenarnya telah memiliki ilmu titen (teliti) tersendiri dalam penentuan cuaca sehingga bisa bermanfaat bagi kehidupan. 


Ilmu titen dikenal sebagai pranata mongso. Lewat ilmu tersebut, bisa digunakan dalam berbagai hal khususnya saat bertani. Bahkan pranoto mongso sempat dijadikan dasar pedoman dalam mengolah sawah.

 

Terlebih setiap masa itu kerap ditandai dengan perilaku tanaman dan hewan yang merespon tatanan alam. Seperti mongso kaenem dimana saat mulai menebar bibit karena sudah ada air. Biasanya akan ditandai dengan munculnya burung belibis.


Muhammad Ghofur, salah satu peneliti iklim dan pranoto mongso mengatakan, ilmu titen itu sebenarnya telah tercatat secara formal di abad 16 dan 17 lalu. Namun secara informal diperkirakan sudah dilakukan jauh lebih dari itu. Ilmu titen semacam itu sebenarnya pun banyak dikembangkan di berbagai daerah lainnya. 


“Seorang antropolog Amerika pernah melakukan riset di Sumba. Dia menyimpulkan bahwa masyarakat Sumba seolah bisa bermain-main dengan waktu. Mereka bisa memprediksi kapan akan terjadi krisis pangan sehingga siap saat menghadapinya,” ujar Ghofur.


Dia menjelaskan dalam ilmu pertanian Jawa sebenarnya tak hanya dikenal musim kemarau maupun penghujan. Namun ada juga masa yang dikenal sebagai semplah dan pengarep-arep. Semplah merupakan masa transisi dari musim kemarau ke penghujan sementara pengarep-arep sebaliknya.


“Pemahaman tentang hal ini menjadi dasar petani memperlakukan tanaman padinya. Sebenarnya praktik ini masih banyak digunakan wilayah yang jauh dari akses informasi,” terang Ghofur.


Persoalan dalam ilmu titen semacam ini sebenarnya penting di saat terjadinya akselerasi perubahan dan krisis iklim yang terjadi seperti sekarang ini. Meski dia menyebut jika anomali cuaca juga terjadi karena pengaruh dari manusia sendiri. 


Sementara itu, Guru Besar Unnes Prof Saratri Wilonoyudho mengutip pernyataan dari Alvin Toffler dimana terjadi tiga gelombang perubahan. Gelombang pertama dimulai dari ditinggalkannya alam berburu menuju pertanian yang terorganisir.


“Gelombang kedua terjadi saat revolusi industri. Dimana kerja otot dipermudah namun memiliki efek samping kapitalisasi serta dampak terhadap alam seperti munculnya polusi. Hal itulah yang kemudian menyebabkan terjadinya anomali cuaca,” Prof Saratri.


Sementara gelombang ketiga adalah saat munculnya teknologi informasi. Gelombang ini semakin memperjelas tingkat keserakahan manusia. Dimana menghujat, fitnah penipuan, dan pornografi semakin merajalela. Kerusakan tak hanya terjadi secara fisik, namun juga sosial.


“Tapi sekarang karena perubahan industri teknologi terjadi anomali. Ketidaknormalan itu terjadi karena kerakusan manusia,” tegas dia.


Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman sendiri mengingatkan jika konsep manusia sebagai khalifah pada dasarnya berfungsi untuk mengelola bumi dengan baik, bukan menempatkan manusia sebagai pusat sehingga bersikap antroposentris. Hasilnya pun tidak sebatas kepentingannya sendiri, namun agar objek yang dikelola pun dapat bertumbuh-kembang dengan baik. 


“Bahkan Kiai saya dulu saat menanam pohon niatnya bukan hanya beliau untuk memetik keuntungan bagi diri sendiri; tapi untuk disedekahkan bagi semua yang membutuhkan, termasuk untuk burung, ulat dan hewan lainnya,” terang Anis.


Anis menyentil jika salah satu dampak revolusi industri adalah kerusakan alam yang menjadi-jadi. Abad yang dianggap modern ini seringkali justru membuat kemanusiaan serta kesadaran manusia menurun drastis.


“Manusia modern ibarat kanak-kanak yang diberi senjata canggih sebagai alat permainannya. Kita bermain-main dengan hasil sains yang luar biasa berkembang, di saat bersamaan kita belum matang sehingga rentan menyebabkan kerusakan,” tandas dia.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan