Nasional

Ngaji Suluk Maleman: Untuk Bahagia Harus Tahu Batas

Sen, 27 Desember 2021 | 06:00 WIB

Ngaji Suluk Maleman: Untuk Bahagia Harus Tahu Batas

Ilustrasi: sikap berlebih-lebihan atau tanpa batas sekarang ini memang banyak merambah ke berbagai sektor. Tak terkecuali dalam bentuk keserakahan memanfaatkan sumber daya alam. Padahal manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Suluk Maleman kembali digelar secara daring pada pekan kemarin. Dalam edisi ke-120 tema yang diangkat ialah tentang Ambang Batas.


Dalam ngaji budaya itu, dibahas bagaimana batasan justru mampu memberi kenikmatan dan kebahagiaan. Hidup tanpa batas yang diidamkan sebagian orang seringkali justru tidak mampu melahirkan kenikmatan.


Bahasan itu seperti yang diungkapkan oleh guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes), Saratri Wilonoyudho. Dia mencontohkan bagaimana jika telinga manusia mampu mendengarkan hingga jarak yang jauh. Hal itu bisa saja justru membuat manusia dibuat pusing dengan segala suara yang dia dengar.


“Bayangkan saja jika gigi tumbuh panjang tak beraturan. Tentu itu membuat kita kesulitan untuk makan, sehingga tak akan ada kenikmatan,” ujar Saratri.

 

Prof Saratri menambahkan, sikap berlebih-lebihan atau tanpa batas sekarang ini memang banyak merambah ke berbagai sektor. Tak terkecuali dalam bentuk keserakahan memanfaatkan sumber daya alam. Padahal manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah.


“Bagaimana hanya untuk jam tengah mewah seharga Rp12 miliar, manusia rela membabat berhektar-hektar hutan. Ini merupakan contoh tak adanya batasan dalam diri manusia,” ujarnya.


Menurutnya, kecintaan berlebihan pada harta dan dunia hingga membuat manusia terlena, telah menjadi bentuk kesyirikan tersendiri. Padahal sejak awal, Allah lewat wahyu yang diturunkan-Nya sudah mendidik agar manusia bisa selalu berada di posisi wasath, adil dan tidak melampaui batas.


Sementara itu, Anis Sholeh Ba’asyin, budayawan yang juga penggagas Suluk Maleman menambahkan, dalam agama pun persoalan batasan telah banyak diajarkan. Seperti anjuran untuk makan saat lapar namun berhenti sebelum kenyang.


“Ini merupakan bentuk batasan agar manusia itu tidak berlebih-lebihan. Kita dididik untuk tidak melampaui batas dalam segala hal,” ujar dia.


Senada, dosen Unnes Ilyas menambahkan, fenomena berlebihan tersebut lantaran orang tak mampu mengaplikasikan puasa dengan benar. Bagi sebagian orang puasa dianggap sebagai halangan.


“Mereka inginnya setiap hari itu hari raya. Padahal kalau benar itu terjadi, kenikmatan hari raya justru juga akan hilang. Manusia selalu berpikir bahwa semakin dikejar akan menemukan kenikmatan, tapi ternyata tidak bisa,” jelas Ilyas.


Puasa menurutnya juga bermakna dalam kehidupan sosial, bukan sekadar soal tidak makan dan minum. Dengan puasa manusia diajar untuk bisa menahan diri sesuai batasan-batasan. 


“Dengan menahan diri, manusia justru mampu menyelamatkan diri dari  marabahaya,” tandas dia.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan