Nasional

Nilai Agama Jadi Aspek Penting dalam Membangun Perdamaian

Sel, 2 Januari 2024 | 11:00 WIB

Nilai Agama Jadi Aspek Penting dalam Membangun Perdamaian

Kegiatan Halaqah Fiqih Peradaban di Aula Akademi Keperawatan Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (30/12/2023). (Foto: NU Online/Syakir)

Cirebon, NU Online 

Semua manusia sebagai khalifah di muka bumi memainkan peranannya dalam pembangunan peradaban. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di dunia berperan penting dalam membangun peradaban tersebut. Peranannya dilakukan dengan mengajukan nilai-nilai luhur agama sebagai instrumen penting dalam mewujudkan perdamaian dunia.


Hal tersebut disampaikan Anggota LBM PBNU KH Darul Azka dalam Halaqah Fiqih Peradaban di Aula Akademi Keperawatan Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (30/12/2023).


"Dan termasuk juga peran NU yang merupakan ormas terbesar di dunia yang menginginkan agar agama dapat memiliki andil dalam memperjuangkan perdamaian dunia. Karena agama adalah aspek terpenting yang akan menjadi kunci perdamaian dunia," ujarnya.


Salah satu bentuk usaha dalam mencapai perdamaian dunia adalah diselenggarakannya R20 pada tahun 2022 lalu. Forum tersebut membahas tentang perdamaian dunia melalui peran agama, termasuk di dalamanya membahas tentang peran Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).


"Perangkat yang disusun oleh NU sudah sangat banyak dan lengkap. Salah satunya adalah memikirkan bagaimana bangsa dapat menjadikan Indonesia sebagai negaranya yang senasib dan sepenanggungan," kata Kiai Azka, sapaan akrabnya.


Zaman dulu, kata dia, geopolitik sangat dipengaruhi oleh agama serta peperangan terjadi antarnegara Islam dan negara kafir. Berbeda dengan sekarang, peperangan yang terjadi adalah justru sesama Muslim atau bahkan sesama rumpun Melayu. 


Oleh karena itu, NU memberikan keputusan-keputusan terkait status non-Muslim di Indonesia bukan termasuk orang kafir berdasarkan apa yang termaktub dalam kitab-kitab yang ditulis pada zaman abad pertengahan. Akan tetapi, status mereka adalah warga negara biasa (muwathin). Mereka yang non-Muslim memiliki hak yang sama dengan umat Islam. "Dan hal ini berdasarkan hasil ijtihad para ulama," ujar kiai asal Yogyakarta itu.


Berbicara pemimpin bangsa, katanya, Indonesia mengikuti kearifan lokal yang mayoritas penduduknya adalah orang Islam, maka kebijakan pemimpin pun harus mengikuti kearifan lokal dengan mayoritas penduduknya yang Muslim.


Di Indonesia, masih ada 16 persen penduduk Indonesia yang tidak setuju dengan negara yang berasaskan Pancasila. Mereka menginginkan negara yang berasaskan Islam dengan ideologi dan cara-cara ekstrem sehingga sehingga melahirkan kelompok-kelompok garis keras.


"Dan dari sini juga kemudian peperangan yang terjadi adalah justru sesama Muslim. Maka dari itu kita sebagai orang NU harus bersikap sebagai warga negara yang mendukung perdamaian dunia," ujarnya.


Salah satu wujudnya ditunjukkan melalui sikap toleran terhadap perbedaan, baik secara nasional maupun secara internasional. NU sedang mengatur konsepnya yang di atur dalam Muktamar NU melalui ijtihadnya.


"Salah satu contoh fakta Sejarah terkait kebijakan nasional yaitu Pendiri NU (KH Hasyim Asy’ari) sendiri dari zaman dulu sudah memikirkan bagaimana membangun negara yang memiliki kekuatan dalam hal kemiliteran, dan bukan hanya memikirkan untuk mengusir penjajah saja. Jadi NU harus mengambil peran dalam perdamaian dunia," katanya.


Oleh karena itu, Kiai Azka menegaskan bahwa tidak perlu tergesa-gesa menjustifikasi program siyasah yang tidak relevan, karena sistem perpolitikan yang dianut di dunia itu sebagian menganut kepada ulama-ulama kita. 


"Seperti trias politika itu sebenarnya berasal dari kitab ulama kita. Namun memang sudah saatnya PBNU dan pesantren berpikir ulang untuk merancang fiqih siyasah yang lebih terbaru dan modern sehingga mampu menjawab 5-10 tahun mendatang dengan tetap menganut pada siasah ulama kita dahulu," pungkasnya.