Nasional

Nilai-nilai Pancasila Harus Menjadi Perilaku Keseharian Masyarakat

Jum, 14 Agustus 2020 | 09:00 WIB

Nilai-nilai Pancasila Harus Menjadi Perilaku Keseharian Masyarakat

Ilustrasi Pancasila. (NU Online)

Jakarta, NU Online

Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan bahwa Pancasila harus menjadi habitus atau kebiasaan yang dilakukan secara spontanitas di dalam diri manusia. Jika demikian, Pancasila akan teresapi di dalam jiwa sekaligus masuk ke alam bawah sadar manusia.


Hal tersebut dikatakannya dalam agenda Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Kebijakan Teknis Inovasi Pembudayaan Ideologi Pancasila, di Kantor Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Jakarta, pada Rabu (12/8) lalu.


“Bayangan saya, jika nilai-nilai Pancasila ini sudah dibudayakan dalam bentuk habitus (perilaku keseharian) di tengah masyarakat, maka orang sudah tidak akan ada lagi yang korupsi, sekali pun tidak ada hukum penjara bagi koruptor,” jelas pria yang pernah menjadi Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009 ini. 


Ia melanjutkan, jika Pancasila sudah menjadi habitus seseorang, maka Pancasila adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya. Jadi, seseorang tidak korupsi bukan karena taat hukum tapi karena memang perilaku dia sudah seperti itu, yakni perilaku yang tidak koruptif karena merasa akan menimbulkan banyak kerugian bagi banyak orang.


“(Ketika pejabat) membuat kebijakan, pasti secara spontan yang dipikir adalah soal kemaslahatan untuk kepentingan rakyat. Itulah jika Pancasila sudah menjadi habitus, yang sudah secara otomatis terdapat di dalam dirinya,” lanjut budayawan yang khas dengan pakaian ala Jawa ini. 


Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa jika Pancasila sudah menjadi habitus dari suatu masyarakat, maka apa pun profesinya, baik pejabat, pedagang, penyanyi, atau artis, secara otomatis segala perbuatannya sudah pasti mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu. 


“Kita harus bisa menjadikan Pancasila sebagai budaya bangsa Indonesia. Pancasila adalah upaya menjadikan setiap pola pikir atau perilaku dan tindakan, sampai gaya hidup masyarakat itu adalah cerminan dari Pancasila. Bukan dibalik. Selama ini Pancasila dianggap sebagai norma atau nilai, sehingga Pancasila menjadi tujuan dan akhirnya memiliki jarak dengan manusia,” lanjutnya. 


Menurut Zastrouw, membudayakan Pancasila adalah menempatkan Pancasila ke dalam diri, sikap, dan cara pandang manusia. Sehingga terekspresikan menjadi tata pikir, perilaku, akhlak, hingga pada produk kebudayaannya. Singkatnya, menaruh Pancasila di dalam hati sehingga terwujud menjadi perilaku hidup yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.


Dengan demikian, lanjut Zastrouw, Pancasila tidak hanya sekadar menjadi acuan dan arah tujuan, tetapi menjadi satu kesatuan di dalam diri manusia itu sendiri. Sehingga akhirnya ekspresi konsep, teks hukum, perundang-undangan yang dilayangkan otomatis sudah menjadi menjadi Pancasila. 


“Itulah barangkali yang dibayangkan Bung Karno saat dia menggali Pancasila. Pancasila saat ini kan adalah Pancasila yang sudah hidup sejak zaman dulu yang digali Bung Karno dari kepribadian hidup bangsa Indonesia. Tetapi kemudian Pancasila itu disistematisasi, dikonseptualisasi, diteoritisasi, dan akhirnya diideologisasi. Nah kita ingin mengembalikan Pancasila lagi kepada konsep awal Bung Karno,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad