Nasional

Pakar: SEMA 2/2023 Perjelas Posisi Negara sebagai Lembaga Pengesah Adanya Perkawinan

Jum, 21 Juli 2023 | 19:30 WIB

Pakar: SEMA 2/2023 Perjelas Posisi Negara sebagai Lembaga Pengesah Adanya Perkawinan

Ilustrasi pernikahan. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Said Muhtar merespons Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.


Menurut Said, narasi tentang pencatatan sipil untuk perkawinan beda agama selalu menjadi perbincangan sejak lama. Karena itu, ia mengatakan bahwa SEMA tersebut telah memperjelas posisi negara sebagai lembaga pengesah perkawinan. 


“Dalam konteks SE ini, ini memperjelas bahwa negara itu sebagai lembaga pengesah adanya perkawinan. Nah soal perkawinan, yang sah atau tidak sah kan ada dua itu. Yang sah secara agama kan belum tentu sah secara negara,” ucap Said kepada NU Online, Jumat (21/7/2023). 


Dosen Fakultas Hukum Unusia ini mengatakan, meski MA telah menerbitkan SE kepada para hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, tetapi praktik perkawinan beda agama tetap saja akan terjadi. 


“Meskipun sudah muncul SE ini, ya bisa-bisa saja orang nikah secara agama atau secara kepercayaannya mereka masing-masing, misalkan mereka nikah beda agama dan agamanya mereka mengiyakan, kan nggak masalah,” ucap Dosen Fakultas Hukum Unusia itu.


Namun, lanjut Said, satu hal yang perlu digarisbawahi dari terbitnya SEMA ini adalah bahwa negara sudah tidak bertanggung jawab untuk menangani permintaan atau permohonan pengesahan pernikahan beda agama. 


Ia menegaskan bahwa SEMA yang ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin itu tidak ada kaitannya bagi warga negara Indonesia yang hendak menikah beda agama di luar negeri. 


“Bisa saja mereka nikah di luar negeri, tidak apa-apa wong itu hak asasi manusia. Mereka nikah di luar negeri kemudian hidupnya di Indonesia ya tidak apa-apa, tetapi di Indonesia tidak akan bisa dicatat di akta perkawinan atau di KK, kartu keluarga. Dampaknya adalah terkait dengan nanti ketika ada pembagian waris, kemudian ada administrasi lainnya itu yang menjadi dampak dari SE ini,” pungkasnya. 


Hindari gejolak sosial

Terkait pernikahan beda agama, Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Taufik Damas menganjurkan agar setiap orang yang hendak menikah, alangkah lebih baiknya memilih pasangan yang seagama. 


“Saya selalu menganjurkan kalau ingin menikah ya menikahlah sesama agama. Maksudnya lakinya Muslim dengan sesama Muslim. Yang non-Muslim dengan sesama non-Muslim. Orang Kristen nikahlah dengan orang Kristen. Supaya tidak ada gejolak sosial,” tutur Kiai Taufik. 


Sebab pernikahan bukan hanya relasi soal antara kedua mempelai, perempuan dan laki-laki, tetapi juga keluarga besar dari kedua belah pihak. Karena itu, Kiai Taufik menegaskan bahwa sangat penting untuk terlebih dulu mempertimbangkan berbagai hal sebelum melangsungkan pernikahan, termasuk terkait agama. 


“Penting sekali mempertimbangkan hal-hal yang memang lebih menjamin kenyamanan dan keharmonisan hubungan rumah tangga di antara kedua pasangan itu. Kalau orang menikah sebaiknya menikah satu agama, satu keyakinan karena demi keharmonisan rumah tangga. Sebaiknya pernikahan itu tidak menyebabkan kekecewaan atau bahkan kemarahan pihak-pihak yang kita cintai yaitu keluarga,” pungkasnya.