Nasional

Soal Nikah Beda Agama, Begini Penjelasan KH Taufik Damas

Jum, 21 Juli 2023 | 07:00 WIB

Soal Nikah Beda Agama, Begini Penjelasan KH Taufik Damas

KH Taufik Damas. (Foto: Dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan, menuai perhatian publik. 


SEMA ini juga mendapat sorotan dari Anggota Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Taufik Damas. Ia mengatakan bahwa SEMA yang dikeluarkan itu seharusnya tak bertentangan dengan undang-undang atau aturan yang menjamin hak-hak masyarakat. 


“Menurut saya, sebetulnya surat edaran ini seharusnya jangan sampai bertentangan dengan undang-undang yang menjamin hak-hak masyarakat. Tentu masih perlu ada harmonisasi. Kalau umpamanya undang-undang (SEMA) ini dianggap memiliki kekuatan untuk mencegah terjadinya pernikahan beda agama, saya pikir belum tentu juga,” ucap Kiai Taufik Damas di Jakarta, Kamis (20/7/2023).


Ia menegaskan, menikah merupakan hak bagi setiap individu masyarakat. Sementara tugas negara hanya mencatat pernikahan itu. Kiai Taufik bilang, negara tidak punya hak untuk mempengaruhi kehidupan individu masyarakat.


“Negara sebetulnya tidak punya hak untuk mempengaruhi kehidupan individu masyarakat. Menikah ini kan hak setiap masyarakat. Nah, ini penting sekali karena siapa pun yang merupakan warga negara kalau dia itu menginginkan dicatat ya harus dicatat. Meminta untuk dicatat pernikahannya ya harus dicatat,” tegasnya.


Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta ini menjelaskan bahwa persoalan nikah beda agama tak memiliki satu ketetapan hukum yang tunggal dalam Islam. Ada yang membolehkan nikah beda agama dengan syarat asal mempelai pria beragama Islam, tetapi ada juga yang tidak membolehkan.


Kiai Taufik mengatakan bahwa di dalam ushul fiqih, persoalan nikah beda agama bukanlah sesuatu yang memiliki hukum satu dan tidak memiliki perbedaan pendapat. Sebaliknya, hukum nikah beda agama memiliki ragam pendapat di kalangan ulama.


“Dalam Islam sendiri ini kan hukumnya beda-beda, ada yang mengharamkan mutlak, ada yang mengharamkan kalau perbedaan laki dan perempuan. Maksudnya kalau lakinya Muslim, perempuannya non-Muslim boleh. Kalau lakinya non-Muslim, perempuannya Muslim, itu tidak boleh. Ada juga yang membolehkan secara mutlak pernikahan beda agama, terutama ulama-ulama yang lebih kontemporer,” tuturnya. 


Lebih lanjut, Kiai Taufik menuturkan bahwa praktik nikah beda agama sudah banyak terjadi di tengah masyarakat Indonesia sekalipun tidak melalui proses administratif, atau tidak tercatat secara resmi. 


“Karena urusannya cuma suka sama suka. Saya pribadi selalu menganjurkan kalau ingin menikah ya menikahlah sesama agama. Maksudnya lakinya Muslim dengan sesama Muslim. Yang non-Muslim dengan sesama non-Muslim. Orang Kristen nikahlah dengan orang Kristen. Supaya tidak ada gejolak sosial,” tutur Kiai Taufik. 


Sebab pernikahan itu bukan hanya soal relasi kedua mempelai, tetapi melibatkan keluarga besar dari kedua pihak. Dengan demikian, lanjut Kiai Taufik, penting untuk kedua mempelai mempertimbangkan banyak hal untuk menjamin kenyamanan dan keharmonisan hubungan rumah tangga di antara kedua pasangan.


“Namun bagi saya pribadi, orang harus menyadari bahwa soal pernikahan beda agama ini hukumnya beragam. Jangan kemudian kita terlalu menganggap itu satu pendapat tapi tidak menganggap pendapat yang lain,” kata Kiai Taufik.


Untuk diketahui, salah satu dasar SEMA Nomor 2 Tahun 2023 adalah Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal itu mengatur tentang beberapa larangan antara dua orang yang hendak melakukan perkawinan. Salah satu larangan itu adalah apabila memiliki hubungan yang di dalam agamanya dilarang kawin.


Kiai Taufik menanggapi bahwa larangan menikah beda agama ada pada ketentuan agama, bukan negara. Dengan begitu, tugas negara adalah mengikuti berbagai ketetapan yang telah diatur agama.


“(Menikah beda agama dilarang) oleh agamanya, bukan negara yang melarang sebetulnya. Jadi negara hanya mengikuti apa yang diatur oleh agama. Kalau agama mengatakan bahwa tidak boleh menikah dengan orang beda agama, maka negara mengikuti itu,” jelasnya.


“Tapi apakah larangan menikah dengan beda agama itu hanya satu pendapat dalam Islam? Nah itu kan ada beda pendapat di situ. Ini harus kita buka ruang diskusi. Biar keharmonisan dan juga tidak sampai terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” imbuhnya.