Nasional HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Pembangunan Bidang Pendidikan Butuh Terobosan

Sel, 1 Mei 2018 | 16:45 WIB

Pembangunan Bidang Pendidikan Butuh Terobosan

Ketua PBNU Juri Ardiantoro

Jakarta, NU Online
Pendidikan memiliki tujuan, di antaranya membentuk generasi yang memiliki bekal moral, intelektual dan kapasitas untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Namun demikian, mewujudkan tujuan mulia tersebut, dunia pendidikan menghadapi ancaman yang tidak kecil belakangan ini.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Juri Ardiantoro mengatakan setidaknya ada tiga ancaman serius dan sangat mengkhawatirkan bagi diri pelajar dan mahasiswa. Ketiga ancaman tersebut adalah narkoba, kekerasan di lingkungan institusi pendidikan dan krisis kebangsaan.

Padahal pendidikan, kata Juri, sering disebut memiliki peranan dalam mengatasi penyalahgunaan narkoba. "Ironis, karena sejumlah data, salah satunya dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes UI) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) 2016  menunjukkan fakta sebaliknya," kata Juri di Jakarta, Selasa (1/5).

Data tersebut merilis, sekitar 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia justru berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Kekhawatiran ini bertambah, merujuk data BNN yang dikeluarkan dalam World Drugs Report 2016, bahwa sejak 2008 sampai 2015 telah terindikasi sebanyak 644 total NPS (New Psychoactive Substances) yang dilaporkan oleh 102 negara, dan 65 di antara jenis baru ini telah masuk ke Indonesia.

Ancaman kedua terkait kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan.  Juri menyebutkan, akhir-akhir ini muncul keprihatinan berupa fakta berbagai informasi, pemberitaan, dan tontonan video kekerasan di lembaga serta institusi pendidikan yang disebarkan secara berantai melalui jaringan media sosial.  

Kekerasan berbentuk fisik maupun mental ini sudah menjangkit ke pihak-pihak utama dalam institusi pendidikan, baik perorangan maupun kelompok. Kekerasan terjadi antar siswa, kemudian murid kepada guru atau sebaliknya guru kepada murid, lalu orang tua murid dengan anak maupun guru. "Ini sudah menunjukkan bahwa pendidikan kita sudah darurat akan kekerasan," tegasnya.

Ancaman ketiga, kata Juri, adalah terjadinya krisis kebangsaan. Pria yang juga Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) ini mengutip Survei Alvara Research Center (2018), di mana sebagian generasi milenial atau generasi kelahiran akhir 1980-an dan awal 1990-an, setuju pada konsep khilafah sebagai bentuk negara.

Survei dilakukan terhadap 4.200 orang (1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia).  Meski mayoritas milenial memang memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara, namun ada 17,8 % mahasiswa dan 18,4 % pelajar diantaranya setuju khilafah sebagai bentuk ideal sebuah negara.

Pada survei Badan Intelijen Negara (BIN) 2017 juga menyebutkan, bahwa 24 % mahasiswa dan 23,3 % pelajar SMA setuju pada jihad untuk menegakkan Negara Islam.

Angka persentase pelajar dan mahasiswa memang terbilang kecil dari total keseluruhan data, tapi tetap saja tidak boleh dianggap sebagai jumlah yang kecil. Sebab faktanya, baik ancaman narkoba, kekerasan dan paham anti kebangsaan Indonesia telah berkembang sangat signifikan.

"Kita tidak ingin generasi Indonesia yang akan datang adalah generasi yang tidak memiliki kapasitas mumpuni untuk menyiapkan diri menghadapi berbagai perubahan yang cepat.  Kita juga tidak ingin, generasi mendatang gagap dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang indah ini," tandas Juri.

Untuk itu, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2018 yang diperingati pada 2 Mei setiap tahunnya harus menjadi momentum untuk mendorong kesadaran publik akan tiga ancaman tersebut. Sekaligus mendesak pihak-pihak yang memiliki tugas dan kewenangan untuk bersama-sama mengambil inisiatif, terobosan kebijakan dan tindakan nyata untuk mengatasi ancaman tersebut. (Akmal/Kendi Setiawan)