Nasional

Pemenuhan Hak Korban Aksi Terorisme Harus Terus Disuarakan

Kam, 17 Desember 2020 | 10:00 WIB

Pemenuhan Hak Korban Aksi Terorisme Harus Terus Disuarakan

Ilustrasi terorisme dan radikalisme. (NU Online)

Jakarta, NU Online

Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mendorong media massa dan masyarakat secara luas untuk terus menyuarakan hak-hak korban terorisme. Selama ini, hak-hak mereka dirasakan belum mendapatkan perhatian penuh dari pemangku kebijakan.


AIDA ingin mewujudkan Indonesia yang lebih damai melalui peran korban dan mantan pelaku terorisme. Sebab itu, sebagai warga negara yang wajib dilindungi pemerintah, hak-hak korban terorisme tersebut sejatinya terus mendapatkan porsi yang sama dengan korban-korban pada kasus lain. 


Ketua Harian AIDA Hasibullah Satrawi menuturkan, sebelum ada lembaga masyarakat yang mendampingi para korban teroris, hak-hak mereka sama sekali tidak dilirik oleh pemerintah. Seiring dengan perkembangan dengan munculnya lembaga yang fokus menangani para korban aksi terorisme, pemerintah sedikit demi sedikit berupaya memenuhi hak-hak para korban. 


Menurut Hasibullah, Undang-undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme hanya ada dua hal yang diberikan negara kepada para korban yaitu kompensasi dan retribusi. Fakta di lapangan tidak ada satupun korban aksi terorisme yang mendapatkan hak-haknya seperti yang diungkap UU tersebut. 


“Kalau di cek, memang kita belum kuat dalam perspektif korban. Negara tidak memberikan sosialisasi tentang kompensasi dan retribusi, korban pun tidak tahu tentang hak,” kata dia saat memberikan keterangan pers kepada awak media, Kamis (17/12). 


Parahnya lagi, hak medis kepada korban kebejatan teroris tersebut juga tidak diberikan oleh pemerintah. Kalaupun ada, itu adalah aksi atas dasar kemanusiaan bukan karena melaksanakan kewajiban berdasarkan amanah UU. 


“AIDA berdiri tahun 2013, kami berjuang bersama para korban dan komunitas lain. Alhamdulillah pada tahun 2014 itu menjadi sejarah baru bagi pemenuhan hak-hak korban. Karena melalui revisi UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban no 13 tahun 2003 menjadi UU no 31 tahun 2014, untuk pertama kali negara memberikan kompensasi kepada korban,” kata Hasibullah melanjutkan. 


Hak-hak yang diberikan itu antara lain hak medis dan hak psiko sosial. Namun, kompensasi dalam bentuk lain baru dilakukan pada tahun 2017. Itu pun penerimanya adalah korban-korban baru, sementara korban yang lama seolah terlupakan. 


“Mereka yang baru saja diberikan adalah dari Samarinda, korban bom Thamrin. Bom Kampung Melayu dan Bom Surabaya,” ujarnya. 


Sementara saat menutup kegiatan short course daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme, yang dilaksanakan AIDA Kamis siang tadi, Direktur Eksekutif AIDA Riri Khariroh meminta kepada media massa untuk ikut menyuarakan persoalan tersebut.


Media, katanya, harus ikut serta melakukan pembangunan perdamaian dan mencegah timbulnya aksi-aksi kekerasan termasuk di dalamnya adalah aksi terorisme. 


“Media massa adalah mediator atau jembatan yang menghubungkan antar-pihak dalam menciptakan komunikasi publik yang sejuk dan mendamaikan,” katanya. 


Paling penting, menurut Riri, dalam situasi konflik kekerasan, media massa harus mengedepankan prinsip jurnalisme damai yang tidak membela kepentingan salah satu pihak yang sedang berseteru. Sebaliknya, media justru harus mendorong adanya rekonsiliasi dari kedua belah pihak yakni korban dan pelaku. 


Riri menegaskan, dalam konteks terorisme, media massa dapat melakukan eksplorasi mendalam mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan, terutama pada diri para korban. Dalam pengamatannya, saat ini kebanyakan peliputan terorisme masih cenderung berfokus pada pelaku. 


“Media lebih cenderung memuat berita tentang pelaku, tetapi minim sekali yang menuliskan dampak yang ditimbulkan terhadap para korban,” ungkapnya.


Pewarta: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Fathoni Ahmad