Nasional

Pengguna Smartphone Jangan Mudah Terpengaruh Pesan Radikalisme

Jum, 28 Februari 2020 | 11:30 WIB

Pengguna Smartphone Jangan Mudah Terpengaruh Pesan Radikalisme

Ragam media sosial untul layanan pesan

Jakarta, NU Online
Staf Khusus Wakil Presiden RI Masduki Baidlowi menyatakan bahwa di era kecanggihan teknologi, pesan-pesan intoleransi dan radikalisme bisa masuk melalui smartphone. Pesan-pesan tersebut, menurutnya sangat efektif memengaruhi banyak orang, khususnya orang yang sehari-harinya tidak memiliki kesibukan ditambah paham keagamaannya dangkal.

Demikian disampaikan Masduki saat didaulat menjadi pembicara kunci pada Talkshow Peci dan Kopi di lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (28/2) dengan tajuk "Intoleransi dan Tantangan Kebhinekaan". Talkshow diselenggarakan oleh 164 Channel.

"Isu intoleransi, isu radikalisme, bahkan isu terorisme sekarang banyak menggunakan smartphone dan begitu mudah mempengaruhi orang lain ketika orang ini sedang labil. Siapa orang-orang yang labil itu? Biasanya orang-orang yang baru lulus sekolah dan belum punya kerjaan, dan ini jumlahnya tinggi di Indonesia," kata Masduki.

Pria yang juga menjadi Wasekjen PBNU ini mengemukakan bahwa jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta orang. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 150 juta orang menggunakan internet, dan 90 persennya menggunakan smartphone.

Lebih lanjut, Masduki menyatakan bahwa zaman sekarang dikenal dengan istilah politik post-truth (pascakebenaran), yaitu Ā budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Pascakebenaran menempatkan kebenaran di posisi kedua.Ā 

"Kalau kita bermedia sosial saat ini yang penting bukan lagi kebenaran, yang penting itu banyak-banyakan ngisi, banyak-banyak menjadi pasukan cyber, banyak-banyakan dari siapa yang menjadi influencer, seperti itu, banyak-banyakan pasukan, bukan soal benar dan salah, tetapi untuk menyakinkan orang sekarang itu siapa banyak-banyakan untuk mengisi (media sosial) terus-menerus.Ā 

Menurutnya, jika pesan seseorang di media sosial sering disebar, maka lama-kelamaan, orang lain akan terpengaruh atas pesan tersebut. Atas persoalan tersebut, sehingga sebuah kebohongan yang diulang-ulang ke publik, terutama melalui media sosial, itu nantinya dianggap sebagai kebenaran. Hal itu yang menurutnya agar pengguna media sosial tidak mudah percaya atas isu-isu yang belum dapat dipastikan kebenarannya.

Sebagai contoh bahayanya era post-truth adalah saat isu PKI menerpa Joko Widodo. Menurutnya, banyak orang yang percaya bahwa Jokowi keturunan PKI. Padahal itu tidak benar.

"Hasil surveinya ternyata yang percaya bahwa presiden kita itu PKI itu hampir 13 juta orang, karena apa? Karena ada yang disebut dengan era post-truth," katanya.

Pewarta: Husni Sahal
Editor: Abdullah AlawiĀ 
Ā