Nasional

Penjelasan Hukum Berbuka Puasa Berdasarkan Adzan Maghrib di TV

Sab, 1 April 2023 | 16:30 WIB

Penjelasan Hukum Berbuka Puasa Berdasarkan Adzan Maghrib di TV

Ilustrasi Puasa. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online 
Waktu Maghrib merupakan saat-saat yang ditunggu oleh umat Islam setelah seharian berpuasa menahan diri dari makan dan minum. Pada saat adzan Maghrib berkumandang, Muslim yang berpuasa dianjurkan untuk segera membatalkan puasa.


Berbeda dengan beberapa waktu shalat lainnya, waktu Maghrib merupakan salah satu waktu shalat yang ditayangkan di TV, selain Subuh. Saat tiba waktunya, adzan Maghrib dikumandangkan di banyak stasiun TV.


Lantas, bagaimana hukumnya berbuka puasa berdasarkan suara adzan Magrib yang disiarkan di TV?


Dalam artikel berjudul Hukum Berbuka Puasa Lewat Adzan Magrib di TV, Redaktur Keislaman NU Online Alhafiz Kurniawan menjelaskan bahwa seseorang yang berpuasa perlu memastikan tenggelamnya matahari sebagai waktu berbuka puasa. Hal ini dijelaskan dalam kitab Mughnil Muhtaj karya M Khatib As-Syarbini dengan keterangan sebagai berikut:


قوله (والاحتياط أن لا يأكل آخر النهار إلا بيقين) كأن يعاين الغروب ليأمن الغلط (ويحل) الأكل آخره (بالاجتهاد) بورد أو غيره (في الأصح) كوقت الصلاة، والثاني: لا، لإمكان الصبر إلى اليقين.   


Artinya, “(Seseorang tidak memakan sesuatu di ujung siang Ramadhan sebagai bentuk ihtiyath atau kehati-hatian kecuali berdasarkan keyakinan) yaitu menyaksikan matahari tenggelam agar terjamin dari kekeliruan. (Seseorang boleh) memakan sesuatu di ujung siang Ramadhan (berdasarkan ijtihad) yaitu wirid atau lainnya (menurut pendapat yang lebih shahih) seperti waktu shalat. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak boleh memakan takjil karena masih memungkinkan kesabaran sampai benar-benar yakin masuk waktu maghrib,” (Lihat M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 631).


Selain itu, seseorang perlu mencari informasi keabsahan soal waktu Maghrib, tidak boleh menduga-duga atas kedatangan waktu tersebut. 

أما بغير اجتهاد فلا يجوز ولو بظن؛ لأن الأصل بقاء النهار، وقياس اعتماد الاجتهاد جواز اعتماد خبر العدل بالغروب عن مشاهدة   


Artinya, “Adapun tanpa berdasarkan ijtihad, maka seseorang tidak boleh berbuka puasa meski dengan dugaan karena pada prinsipnya waktu siang masih berjalan. Sedangkan qiyas ijtihad sebagai sandaran buka puasa dimungkinkan sebagaimana kebolehan kabar seorang yang adil atas tenggelamnya matahari berdasarkan kesaksiannya,” (Lihat M Khatib As-Syarbini, Mughnil muhtaj [Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 631-632).


Pada dasarnya, lanjut dia, jadwal shalat dan waktu shalat disusun dan dirilis berdasarkan perhitungan astronomis. Adzan magrib yang diputar di sejumlah stasiun TV pun didasarkan pada jadwal yang dapat diverifikasi oleh masyarakat dengan jadwal yang mereka miliki di rumah masing-masing. 


Dengan begitu, lanjutnya, berpuka puasa dengan berpatokan pada adzan Maghrib dari TV adalah hal yang diperbolehkan. 


“Seseorang yang beribadah puasa boleh menyandarkan diri waktu maghribnya pada adzan yang diputar oleh stasiun televisi,” terangnya.


Meski demikian, seseorang disarankan untuk memastikan keabsahan waktu Maghrib dengan mencari tahu siaran adzan di stasiun televisi yang lain dan memverifikasi dengan jam dan jadwal shalat yang dimiliki. Ini supaya informasi waktu Maghrib diperoleh secara mutawartir.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Musthofa Asrori