Nasional

Peran Nilai Agama bagi Anak yang Kecanduan Smartphone

Ahad, 4 Agustus 2019 | 16:45 WIB

Dalam kitab Syarah Musnad Ahmad, Imam Ahmad mencantumkan suatu hadits yang menerangkan bahwa menurut Rasulullah Saw di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah dzuhurul qalam (tersebarnya pena atau tulisan). Yang dimaksud dengan dzuhurul qalam untuk masa kini bisa berlaku pada media sosial. Karena dengan media sosial, seseorang bisa menulis apa pun yang ia pikirkan dan hasil tulisan bisa disebarkan kepada orang lain melalui aplikasi dalam media sosial tersebut.
 
Namun, jika dzuhurul qalam digunakan oleh seseorang yang belum memiliki pengetahuan ilmu yang mencukupi, serta keimanan agamanya yang kurang kuat maka hal tersebut akan mengakibatkan hal-hal yang merusak, dan hal-hal negatif lainnya. Karena kekurangan-kekurangan itu tidak bisa membatasi dirinya dalam penggunaan yang sesuai.
 
Memahami hal tersebut, jika dilihat dari ilmu agamanya, penggunaan media sosial di kalangan anak-anak sebaiknya tidak diberikan oleh orang-orang terdekatnya. Karena hal tersebut lebih banyak pengaruh negatifnya daripada positifnya. Anak usia setingkat sekolah dasar belum memiliki alasan memiliki akun media sosial dan bagaimana cara yang baik menggunakannya dalam konteks agama (syiar dan unsur kemanfaatan lainnya).

Tata cara penggunaan media sosial dalam konteks agama Islam bagi setiap Muslim adalah wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf). Mengajak kepada ihwal persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq). Serta harus terarah pada mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘an al-munkar). Interaksi melalui media sosial hendaklah digunakan untuk mempererat ukhuwwah (persaudaraan).

Tentu kita tidak bisa pula melarang secara keras kepada mereka, karena tidak sedikit pula anak-anak usia SD mampu menggunakannya sebagai media yang sesuai. Misalnya sebagai media pembelajaran tambahan, media komunikasi dengan teman yang baru dikenal, maupun sebagai pengenalan lebih dari kemajuan teknologi dunia yang terus berkembang. Artinya, penggunaan smartphone bagi anak sejatinya bisa menjadi suplemen pengetahuan bagi anak itu sendiri. 

Sayangnya, bak api jauh dari panggangannya, fakta yang terjadi malah sebaliknya. Menurut hasil penelitian Ahmad Shofiyuddin Ichsan dari Institut Ilmu Al-Qur’an Yogyakarta tahun 2018, dari sampel sekolah tingkat dasar yang diteliti di Yogyakarta, anak-anak yang memiliki media sosial, 71% sudah memiliki rasa dengan lain jenis, bahkan 39% sudah berpacaran. Selain itu, dalam penelitian yang didukung Diktis Pendis Kemenag itu ditemukan, sebanyak 60% interaksi yang dilakukan oleh anak-anak tersebut melalui pesan WhatsApp adalah interaksi dengan lawan jenisnya, sisanya, 18% berinteraksi dengan orangtua, 22% berinteraksi dengan sesama jenis.

Melihat fenomena ini, solusi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi. Baik dari pihak orangtua, lingkungan mainnya, maupun sekolah. Perlu dilakukan pula evaluasi penanaman nilai agama pada anak. Tidak sedikit, anak-anak yang kecanduan smartphone adalah anak yang memiliki rutinitas terbatas. Orang tua bisa mulai memberinya tambahan kegiatan, yang simpel tapi bermanfaat. Agar anak pun tidak merasa terbebani sehingga enggan melakukannya kembali.

Kegiatan yang dimaksud misalnya bisa kembali mengatur jadwal mengaji Al-Qur’an-nya, mengaktifkan aktivitas olahraga bersama, mengajaknya ke panti asuhan atau panti jompo, atau melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial. Usahakan, kegiatan yang direncanakan itu adalah kegiatan yang menekankan nilai-nilai produktif dan sosialitatif. Sebab, kita hendak mengarahkan sang anak tersebut untuk menyadari bahwa  dunia yang ia tinggali tidak terbatas pada layar 4 atau 5 inci saja, tetapi memiliki bentuk kehidupan yang beragam. Hal ini turut pula mengajarkan kepada sang anak bahwa penanaman nilai agama, tidak terbatas pada aspek formalitas agamis semata. 

Kegiatan-kegiatan tersebut selain mengurangi jumlah hubungan anak dengan smartphone-nya juga mampu menumbuhkan sifat-sifat komunikatif sang anak. Dengan catatan, orang tua yang sibuk bekerja harus mulai mengatur jadwal intensifitas dengan anaknya. Sehingga kegiatan yang dijadwalkan bisa berjalan dengan baik. Syarat terakhir adalah melakukan sinergitas dan komunikasi yang intens, antara anak, pihak sekolah, dan lingkungan tempat ia melakukan aktivitas di luar sekolah. (Sufyan/Kendi Setiawan)