Nasional

Peran Sekolah dan Pemerintah untuk Antisipasi Kekerasan dan Perundungan Anak

Kam, 28 September 2023 | 20:30 WIB

Peran Sekolah dan Pemerintah untuk Antisipasi Kekerasan dan Perundungan Anak

Ilustrasi kekerasan dan perundungan. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Aksi perundungan kembali terjadi. Kali ini perundungan dilakukan oleh siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah.


Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sepanjang Januari-Agustus 2023 terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan di lingkungan sekolah. Hal ini menandakan ada masalah serius dalam dunia pendidikan di Indonesia.


"Kita punya problem serius soal political will dari pemerintah dan juga soal mindset guru-guru di sekolah. Pemerintah ini sering bikin kebijakan tapi banyak yang gagal jalan di lapangan. Bahkan, plang sekolah ramah anak juga hanya papan nama," ujar Koordinator Ubaid Matraji kepada NU Online, Kamis (28/9/2023).


Ubaid menilai sektor pendidikan hingga kini masih gagal dalam proses pendidikan karakter. Hal ini terlihat dari hasil survei integritas sektor pendidikan (SPI) yang makin buruk. 


Dari hasil SPI Pendidikan yang dilakukan pertama kali di 34 provinsi pada tahun 2022, indeks integritas pendidikan nasional sebesar 70,40. Nilai ini menunjukkan indeks integritas pendidikan masih berada di level 2 dari skala tertinggi level 4.


"Ini dialami dari satuan pendidikan terbawah hingga perguruan tinggi. Miris dan ironis," ungkapnya.


Langkah cegah kekerasan dan perundungan

JPPI memberikan lima rekomendasi terkait perundungan yang terjadi di kalangan pelajar. Rekomendasi ditujukan kepada pemerintah dan pihak-pihak sekolah merespons perundungan yang terjadi di kalangan pelajar.


Pertama, political will dari pemerintah pusat sampai dinas-dinas di daerah untuk pencegahan kekerasan di sekolah. "Ini butuh komitmen, jangan hanya komat-kamit dan janji-janji palsu pencitraan," ucap Ubaid.


Kedua, perlu dekonstruksi tata kelola sekolah. Ubaid menilai, sekolah selama ini tertutup dan anti-kritik. Ini mengakibatkan banyak pencitraan bagus, tapi di dalamnya banyak cacat yang ditutupi. Sehingga ketika ada kasus bullying, bukannya segera bertindak, malah sibuk menutupi kasus.


Ketiga, harus ada rethinking soal mindset guru yang tidak manusiawi. Rethinking ini adalah bagaimana mengubah mindset guru yang lama menjadi cara pandang baru tentang bagaimana memandang anak-anak di sekolah sebagai manusia seutuhnya.


"Jadi jangan jadikan mereka sebagai obyek yang disuruh-suruh, dilarang-larang, di-bully, tanpa ada proses pengembangan dialogis-argumentatif dan nalar kritis," terang Ubaid.


Keempat, mendesak untuk segera dibentuk satgas di tiap provinsi, kabupaten/kota, dan juga tim pencegahan kekerasan di level sekolah. 


"Lembaga ini harus inklusif dan jangan hanya diisi oleh para pejabat, tapi multi-stakeholder dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil," kata Ubaid.


Kelima, memastikan sistem pencegahan di sekolah harus establish and running well. Mulai dari deteksi dini, pelaporan, pendampingan, jaminan keamanan korban dan pelapor, dan juga edukasi.