Nasional

Perempuan Disabilitas Sandang Stigma dan Beban Berlapis

Ahad, 27 November 2022 | 20:00 WIB

Perempuan Disabilitas Sandang Stigma dan Beban Berlapis

Sejumlah narasumber pada sesi panel pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, Jumat (26/11/2022).

Jepara, NU Online

Pengurus Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan, Zakia, menegaskan bahwa anggapan bahwa manusia difabel sebagai orang berkekurangan dan dipandang sebelah mata itu disebabkan budaya abilism.


"Saat ini kita masih dipengaruhi oleh budaya abilism yaitu merasa sempurna dan lebih baik dari orang difabel," kata Zakia dalam sesi panel pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, Jumat (26/11/2022).


Sementara perempuan disabilitas mendapati berbagai masalah tambahan, seperti kekerasan seksual. Salah satunya dialami perempuan difabel yang didampingi Zakia. Perempuan itu memerlukan bahasa isyarat sehingga membuat penyelesaian kasus yang menimpanya menjadi terlambat dan terhambat. Sebab, juru bahasa isyarat sangatlah langka.


Belum lagi kendala akses pendidikan, kesehatan, dan psikologi yang sulit. Jangankan itu, dokumen kependudukan pun tak dimiliki.


Oleh karena itu, Zakia menekankan bahwa perlu untuk memegang prinsip inklusi disabilitas, yaitu meliputi adanya keragaman disabilitas, perlunya aksesibilitas akomodasi yang layak, partisipasi, kolaborasi, dan perlakuan non diskriminatif terhadap orang difabel.


Senada, Nurul Saadah Andriani dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SEPDA), menyampaikan bahwa perempuan disabilitas seringkali terkena stereotipe yang berlapis dalam budaya patriarkis. Sebab, perempuan difabel dianggap tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik dan tentu dianggap tidak bisa melayani suami.


Lebih dari itu, perempuan difabel itu juga dianggap menjadi biang yang bakal menurunkan anak-anak difabel pula. Hal lainnya adalah dianggap tidak bisa menghasilkan uang.


Perempuan difabel dianggap beban hingga dilarang menikah karena banyak tekanan yang melekat pada mereka. Mereka tidak mendapatkan dukungan yang baik dari keluarganya, teman-teman, hingga lingkungannya karena adanya stigma yang melekat pada dirinya.


Apalagi difabel perempuan bisa menjadi alasan suami untuk poligami sebagaimana termaktub dalam pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 


Padahal, Anirotul Munawaroh menyampaikan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk saling memberikan ketenangan.


Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad mengatakan, tak ada manusia yang tercipta dengan kekurangan. Sebagaimana difirmankan Allah swt dalam Al-Qur'an surat At-Tin, manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk.


"Semua manusia itu diciptakan dengan sebaik-baik bentuk kalau ada manusia beranggapan manusia lain tidak sempurna berarti itu menyalahkan Allah swt," katanya.


Padahal, sebetulnya difabel sendiri bisa jadi bukti untuk menunjukkan bahwa Allah swt merupakan zat yang maha sempurna. Sebab, ada orang yang tidak memiliki kaki dan tangan lengkap masih bisa mengendarai mobil, misalnya. Ia juga mencontohkan Stephen Hawking yang menjadi saintis.


"Di situ, justru muncul keagungan dan kesempurnaan Allah swt sebab secara logika hal itu sebetulnya tidak mungkin," katanya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Alhafiz Kurniawan