Nasional

Pergunu: Merdeka Belajar Jangan Timbulkan Masalah Baru

Ahad, 26 April 2020 | 23:00 WIB

Pergunu: Merdeka Belajar Jangan Timbulkan Masalah Baru

Wakil Ketua Pergunu, Aris Adi Leksono. (Foto: NU Online/Kendi Setiawan)

Jakarta, NU Online
Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) mengadakan diskusi daring, Ahad (26/4). Diskusi bertema Tantangan Pendidikan dan Merdeka Belajar di Masa Krisis Covid-19.
 
Wakil Ketua Pergunu, Aris Adi Leksono, mengatakan menuntaskan masalah pendidikan di Indonesia tidak semudah merumuskan kebijakan dan ketok palu anggaran. "Selalu ada masalah baru, sehingga berimplikasi pada 'tawaran' sistem baru, yang justru tidak dapat menjawab akar persoalan," ujarnya.
 
Ia mengingatkan, ada puluhan bahkan ratusan kebijakan, aturan, petunjuk teknis, dan lainnya tentang pendidikan dirumuskan. Juga dukungan anggaran 20 persen dari APBN, yang nilainya ratusan triliun berujung pada 'saling lembar batu sembunyi tangan'.
 
"Ini masalahnya kebijakan, ini masalahnya anggaran, ini masalahnya guru, masalahnya pabriknya guru ini (LPTK), sehingga berkutat pada diskusi, bukan action lapangan," lanjut Aris.
 
Karena itu, dengan memotret kondisi yang hidrogen dengan data kuantitatif, yang mestinya harus didukung data kualitatif, sehingga rumusan kebijakan dan teknis implementasi menjadi valid dan releabel. "Bukan sekedar seperti kata iklan 'buat pendidikan kok coba-coba'," selorohnya.
 
Meskipun secara subtansi bukan sesuatu yang baru, tawaran model sistem 'merdeka belajar' sebagai salah satu cara untuk melakukan lompatan kualitas pendidikan Indonesia. Namun, tetap harus diuji tingkat implementasi dan hasilnya. Maka tawaran label baru itu jangan hanya berhenti pada semangat 'pencitraan'. Tapi harus dibarengi ikhtiar implementatif, dan tetap mengedepankan kultur masyarakat dan psikologi pendidikan di Indonesia.
 
Lebih dari itu, sambung Aris, 'merdeka belajar' jangan sampai justru memicu munculnya masalah baru yang fundamental, misalnya kesenjangan pendidikan di kota dan desa, disparitas sekolah unggulan dan yang biasa saja.
 
Selebihnya, bisa jadi akan memicu liberalisasi dan kapitalisasi sistem pendidikan, dengan pola rekayasa sosial berbasis media ICT, misalnya dengan model learning manajemen system (LMS) atau aplikasi pembelajaran daring lainnya, yang hanya dikuasai kelompok profesional tertentu. Jika hal itu yang terjadi, pada akhirnya hanya akan mencabut akar historis model khas pendidikan Indonesia. 
 
Ia menegaskan pada akhirnya medeka belajar akan berjalan efektif dan efesien, jika dibarengi dengan pemerataan peran dan keterlibatan secara massif ekosistem pembelajar, baik berbasis komunitas, maupun personal agency, dan atau pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah.
 
"Secara konkret harus didukung kebijakan yang aplikatif dan anggaran yang tepat sasaran secara efektif dan efisien," pungkasnya.
 
Editor: Kendi Setiawan