Nasional RISET BLA JAKARTA

Perlunya Penyuluh Agama Diterjunkan ke Masjid-masjid di Mal

Kam, 12 Desember 2019 | 04:30 WIB

Perlunya Penyuluh Agama Diterjunkan ke Masjid-masjid di Mal

Ilustrasi shalat berjamaah di masjid. (NU Online/Suwitno)

Arus globalisasi dan pembangunan ekonomi memunculkan tingkat urbanisasi yang tinggi di kota-kota besar. Selain menimbulkan dampak positif, tentu juga menimbulkan dampak negatif yang menyertainya. Kehidupan perkotaan yang modern menjadi gaya hidup (life style) idaman masyarakat kekinian. 

Agus Noorbani dalam penelitian berjudul Masjid di Mal: Upaya Memperkuat Peran Kementerian Agama dalam Membina Masjid-masjid di Mal yang disponsori Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta Balitbang Diklat Kemenag RI mengambil beberapa teori penting dari Fealy (2008) terkait fenomena tersebut.

Pertama, pendapat Fealy yang menyatakan bahwa perubahan kehidupan masyarakat kota seturut kemajuan perekonomian akibat modernisasi dan globalisasi ini mengubah pula perilaku keberagamaan masyarakatnya. Terjadi kegamangan identitas keberagamaan akibat perubahan budaya dan sosio-ekonomi. Nilai-nilai moral lama yang telah ajeg dan nyaman dijalani tergerus oleh berbagai nilai baru akibat modernisasi yang memicu disorientasi keberagamaan.

Kedua, Jika umat beragama dahulu mencari pengetahuan agama ke sumber-sumber otoritatif, seperti para pemimpin agama di rumah-rumah ibadah dan sekolah-sekolah agama resmi, umat beragama saat ini justru lebih senang bertindak seperti klien yang bebas memilih sumber-sumber pengetahuan keagamaan yang ada di sekitar mereka.

Ketiga, Umat Islam Indonesia saat ini, jika dapat dijelaskan dalam kalimat yang singkat, ingin tetap memegang teguh nilai-nilai dan keyakinan agama mereka tanpa melepas nilai-nilai modernitas akibat pertumbuhan perekonomian yang membuat mereka sejahtera.

“Karenanya, saat ini kita mudah mendapati umat Islam Indonesia yang berpakaian islami namun modis penuh gaya dengan dandanan model terkini kerap mengikuti pengajian-pengajian yang rutin mereka selenggarakan. Tidak saja di masjid, bahkan di hotel berbintang. Mereka juga berziarah ke tempat-tempat suci dan sakral yang dikemas dalam paket wisata religi, dan berbagai ekspresi lainnya,” tulis Agus Noorbani.

Dijelaskannya, tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui kebijakan Kemenag terhadap masjid-masjid di pusat perbelanjaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran masjid di pusat-pusat perbelanjaan ini. Selain itu, penelitian juga diharapkan memberi landasan kebijakan bagi Kemenag untuk juga memberikan perhatian bagi pembinaan bagi pengelola masjid tersebut.

“Melihat gaya hidup masyarakat yang serba memilih, maka perlu adanya terobosan dari Kemenag yang menjemput bola untuk turun langsung dalam memberikan pelayanan keagamaan di tempat peribadatan pusat-pusat perbelanjaan,” urai Agus.

Penelitian yang bertempat di Kota Bekasi sebagai kota penyangga Ibu Kota, menunjukkan hasil perlu adanya perhatian khusus dari Kemenag. Pasalnya, masjid-masjid di mal ini juga terlihat dari sedikitnya jumlah penyuluh agama Islam yang mengisi kajian-kajian maupun khutbah Jumat di masjid-masjid di pusat perbelanjaan. Hal ini karena tidak adanya kewenangan Kemenag dalam melakukan pembinaan pada masjid-masjid di pusat perbelanjaan.

Menurut Agus Noorbani, masjid di mal-mal di Kota Bekasi, meski berstatus sebagai rumah ibadah di ruang publik, tidak serta-merta dikelola oleh masyarakat. Pengelolaan masjid masih berada di bawah pengawasan manajemen mal. Seperti dikatakan oleh Maryanto, Ketua Takmir Masjid At-Tijaroh Mal Mega Bekasi, bahwa meski disebut masjid namun belum diwakafkan sehingga masih menjadi hak pemilik mal.

DKM Mal Vs DKM Non Mal
Karenanya, lanjut Agus, ada perbedaan DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) di mal dengan DKM masjid pada umumnya. Struktur takmir masih berada di bawah Direktur Utama. Contoh lain yang membedakan pengelolaan masjid di mal dengan masjid pada umumnya adalah jika waktu ibadah Jumat bertepatan dengan hari libur.

“Saat karyawan lain libur, maka karyawan yang menjadi pengurus takmir mau tidak mau mesti masuk karena harus mengkoordinasi pelaksanaan ibadah Jumat. Tidak jarang karyawan yang menjadi pengurus takmir tidak hadir dengan alasan waktu libur dan waktu untuk keluarga,” terangnya.

Ustad Syaiun, pengelola harian Mushala Grand Metropolitan Mal, dalam sudut pandang yang lain menjelaskan perbedaan pengelolaan masjid di mal dari segi penyebutan, bahwa secara nomenklatur ruang ibadah ini disebut mushala bukan masjid. Sebab pengelola mal beranggapan bahwa yang namanya masjid adalah lembaga mandiri tidak terikat dengan manajemen mal.

“Sedangkan Masjid Grand Metropolitan masih berada di bawah pengelolaan dan terikat dengan manajemen mal Grand Metropolitan. Salah satu contoh keterikatannya adalah pengurus takmir masjid adalah pegawai tetap dan ditunjuk oleh pengelola mal Grand Metropolitan,” papar Noorbani.

Meski secara struktur masih berada di bawah manajemen mal, masjid-masjid ini dalam operasional keseharian tidak bergantung penuh kepada manajemen mal. Dalam aspek penggajian pengelola harian misalnya, baik Mushala Grand Metropolitan Mal maupun Masjid At-Tijaroh Mal Mega Bekasi mengandalkan infak dan shadaqah jamaah, kotak amal yang beredar setiap jumat, dan kotak-kotak amal yang ditempatkan di beberapa titik masjid.

Kedua tempat ibadah ini, tulis Noorbani, hanya menggaji pengelola harian dari infak dan shadaqah jamaah, sedangkan pengurus takmir mendapatkan gaji sesuai yang mereka terimasebagai karyawan mal. Walau hanya mengandalkan infak dan shadaqah masyarakat, kedua rumah ibadah ini tidak pernah kekurangan dana, bahkan memilki dana berlebih yang didonasikan setiap bulannya bagi masyarakat yang membutuhkan.

“Karena belum adanya payung hukum yang kuat untuk membangun sebuah masjid atau sarana peribadatan di pusat perbelanjaan yang layak digunakan. Maka penting kiranya Kemenag membuatkan payung hukum dan memfasilitasi penyuluh agama Islam untuk dapat melakukan pembinaan di masjid-masjid di pusat perbelanjaan, baik pembinaan kepada pengurus maupun kepada jamaah,” tandasnya. 

Penulis: Rifatuz Zuhro
Editor: Musthofa Asrori