Nasional

Pesantren Jawab Kebutuhan Mental Adaptif di Peradaban Baru

Sel, 26 September 2023 | 06:00 WIB

Pesantren Jawab Kebutuhan Mental Adaptif di Peradaban Baru

Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Athor Subroto dalam orasi ilmiah Wisuda dan Pengukuhan Santri 2023 di Pesantren Mahasiswa dan Pesantren Mahasiswi Al-Hikam II Depok, Jawa Barat, Ahad (24/9/2023) (Foto: Pesantren Al-Hikam Depok)

Depok, NU Online
Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membangun jiwa para santri dinilai sangat strategis menumbuhkembangkan mental adaptif. Peradaban baru yang ditandai sejumlah disrupsi dan transformasi di berbagai bidang membutuhkan mental adaptif untuk bisa dihadapi secara berkelanjutan.

 

Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Athor Subroto mengatakan hal itu dalam orasi ilmiah Wisuda dan Pengukuhan Santri 2023 di Pesantren Mahasiswa dan Pesantren Mahasiswi Al-Hikam II Depok, Jawa Barat, Ahad (24/9/2023).


Dalam acara bertema Santri Berkontribusi di Kancah Internasional: Menjaga Tradisi, Mengembangkan Inovasi itu, Athor mengatakan bahwa tanpa mental dan spirit yang baik, transformasi bisa menjadi sesuatu yang membahayakan. 

 

Menurut Athor, para santri memiliki ilmu yang lengkap, sehingga dalam menghadapi sejumlah tantangan terkait dengan tuntutan pembangunan yang berkelanjutan pada peradaban sekarang, para santri akan lebih siap. "Mental (lulusan) pesantren adaptif," sebut Athor. 


Penyikapan terhadap tradisi pun, kata Athor, dengan demikian cenderung akan lebih smooth manakala terjadi perubahan. Singkatnya, imbuh Athor, mahasiswa yang juga menjadi santri atau lazim disebut mahasantri, memiliki sesuatu hal yang komplet di dalam dirinya.

 

Masa depan bidang ekonomi
Athor, dalam paparannya menambahkan sejumlah hal terkait arah masa depan dalam bidang perekonomian yang bakal harus dihadapi.


"Di antaranya adalah otomasi dan dampak kecerdasan buatan, pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau, transformasi digital dan perniagaan elektronik, ekonomi berbagi dan collaborative consumption, pengambilan keputusan dengan data raksasa, globalisasi dan perdagangan internasional, ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan sosial, uang digital dan teknologi blockchain, serta populasi yang menua," bebernya.


Tiap-tiap bidang itu membutuhkan adaptasi, seiring dengan sejumlah dimensi geopolitik, geoekonomi, dan geostrategi yang cenderung bergerak dinamis. Ini masih ditambah dengan fakta terjadinya pemanasan global serta perubahan iklim yang membuat sejumlah reaksi serta beragam respons cenderung semakin berkejaran dengan waktu.


Tiada dikotomi 
Sementara itu, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam II Depok, HM Yusron Shidqi dalam paparannya menggarisbawahi ketiadaan dikotomi antara ilmu agama dan 'ilmu umum' yang ditafsirkan sebagai pengetahuan di bidang teknologi dan sebagainya.

 

"Nabi (Nabi Muhammad saw), tidak pernah membagi ilmu agama dan 'ilmu umum'," ujar Gus Yusron. 

 

Menurut Gus Yusron, pembagiannya adalah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat. "Terlepas dari kategorinya, apakah itu 'ilmu umum' atau ilmu agama, jika hendak disebut demikian," sebutnya.

 

Akan tetapi, yang lantas terjadi adalah dikotomi ekstrem antara 'ilmu umum' dan ilmu agama. Hal ini terkadang mengakibatkan ada seseorang yang hanya mengerti ilmu agama, namun tidak mengerti ilmu mengenai teknologi dan sebagainya.

 

"Atau sebaliknya, seseorang mengerti 'ilmu umum', tapi tidak mengerti ilmu agama," kata Gus Yusron.


Kontributor: Ingki Rinaldi