Nasional

Prof Quraish Shihab: Sebutan Koruptor Terlalu Halus bagi Pelaku Korupsi

Sab, 28 Agustus 2021 | 04:30 WIB

Prof Quraish Shihab: Sebutan Koruptor Terlalu Halus bagi Pelaku Korupsi

Prof Quraish Shihab. (Foto: Narasi TV)

Jakarta, NU Online

Cendekiawan Muslim Profesor Muhammad Quraish Shihab mengatakan, penyebutan koruptor bagi terpidana korupsi dinilai terlalu halus. Kata pencuri dianggapnya lebih pantas. 


“Kenapa orang miskin yang mengambil bukan haknya dinamai pencuri, sementara pejabat atau pegawai, kita namai koruptor. Dia itu pencuri,” tegas Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) itu pada tayangan Shihab & Shihab, beberapa waktu lalu.


Sebuah data menunjukkan dari tahun 2004 hingga Juli 2020 tindak pidana korupsi di Indonesia sebanyak 1.032 kasus, dengan jenis perkara korupsi yang kerap dilakukan yaitu penyuapan sebanyak 683, pengadaan barang atau jasa sebanyak 206, dan beberapa perkara lainnya seperti penyalahgunaan anggaran dan perizinan.


Seharusnya, kata dia, karena para koruptor tidak mempunyai rasa malu, maka mereka wajib dipermalukan. Sebab, banyak fakta membuktikan para koruptor masih berlenggang-kangkung, bergelak-tawa di masa hukumannya. Tidak cukup dengan hanya mengenakan pakaian kuning dan dihukum saja, melainkan harus dipermalukan sampai mereka sadar.


“Jadi intinya koruptor itu harus dipermalukan, itu satu,” kata Prof Quraish.


Dampak dari apa yang dilakukannya juga berlaku pada anak keturunannya. Bahkan, menurut penulis Tafsir Al-Misbah ini, tindakan penyadaran harus dengan memiskinkan anggota keluarga, bukan sekadar mengambil kembali apa yang telah dicuri. Jika tindakan itu tidak dilakukan, maka dipastikan terpidana tetap bisa merasakan keuntungan dari beberapa harta yang diinvestasikannya.


“Katakanlah (harta hasil korupsi) masuk ke bank diinvestasikan, kan ada untungnya,” ujarnya.


“Jadi keuntungan yang diperoleh, walaupun bukan korupsi, ambil juga sehingga dia jadi miskin,” imbuh Prof Quraish.


Menafkahi Keluarga dari Korupsi


Prof Quraish menerangkan, semua harta yang terambil atau terkumpul dari korupsi adalah haram dan buruk, sehingga bila diberikan kepada anak atau keluarga, bisa berdampak buruk pada karakternya.


Diceritakannya, ada seorang ibu yang dianugerahi anak-anak sukses, ketika ditanya apa rahasianya, ibu itu menjawab, tidak pernah sekali pun memberi makan haram pada anaknya.


“Kata Nabi, setiap daging yang tumbuh dari makanan haram maka neraka tempatnya,” terang Prof Quraish.


Ia memandang, salah satu faktor yang penting digalakkan dalam masyarakat adalah peranan istri dan anak. Bukan sekadar mendorong suami untuk tidak korupsi, lebih jauh fungsi keluarga harus menghalangi anggota keluarga lain untuk tidak melakukan tindakan itu. Lalu, bagaimana jika keluarga tidak mengetahui hartanya hasil korupsi?


Prof Quraish menjawab, Tuhan tidak membebani terhadap apapun yang tidak diketahui makhluk-Nya. Akan tetapi dalam Al-Qur’an disebutkan, orang tua berkewajiban mencari tahu setiap penghasilan lebih dari yang didapatkan anaknya.


“Ayah atau ibu kalau melihat anaknya mempunyai kelebihan, dia harus bertanya dari mana sumbernya ini. Istri juga begitu kalau dia tahu gaji suaminya hanya terbatas sekian,” bebernya.


"Hal itu diupayakan agar tercipta kenyamanan dalam keluarga,” tandas Prof Quraish. 


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad