Semarang, NU Online
Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Semarang, menggelar simposium kebangsaan di aula Balaikota Semarang, jalan Pemuda 148 Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, Ahad (22/9).
Pada simposium bertema Pencegahan Radikalisme di Media Sosial tersebut, Wali Kota Semarang H Hendrar Prihadi mengingatkan tentang peran media sosial sebagai tempat berkumpul di era modern.
"Jadi, perkembangan teknologi ini luar biasa," kata Hendy, sapaan akrabnya.
Ada yang ingin mengirim posting yang baik, lanjutnya, ada juga yang mengirim hal buruk. Semua itu bercampur menjadi satu. Karena itu ia berpesan untuk menangkal narasi buruk tentang kondisi kebangsaan Indonesia.
"Caranya kembali ke persoalan konvensional dahulu. Kira-kira kalau ada satu orang yang menyebarkan berita buruk, maka 10 orang harus menyebarkan berita baik," ujarnya.
Kalau ada yang menjelek-jelekkan negara, sambungnya, dirinya yakin Ansor banyak yang melakukan klarifikasi.
"Maka harapan saya adalah bagaimana anak-anak muda, harus bisa menjadi agen perubahan untuk kebaikan bangsa. Manakala terjadi isu yang tidak bagus, tangkal berita hoaks, jangan malah ikut menyebarkan hoaks," tegasnya.
Menanggapi data tentang mahasiswa yang terindikasi radikalisme, Hendi membeberkan tentang survei dari sebuah lembaga yang menunjukkan hasil 40 persen mendukung Pancasila, dan 17 persen menyatakan Pancasila tidak relevan.
"Tapi ada 37 persen yang terserah mau jadi negara Pancasila boleh, negara khilafah juga boleh. Ini yang berbahaya," ungkapnya.
Menurutnya, persoalan ini harus sudah selesai tahun 1945. Waktu itu pasti Bung Karno dan Bung Hatta sudah memikirkan perbedaan karakter, golongan, suku, ras, agama, bahasa. Karena itu kalau ada diskusi tentang relevan tidaknya bentuk dan dasar negara tidak tepat.
"Hari ini diskusinya masih ribut bentuk negara itu sudah tidak pas. Hari ini diskusinya untuk kemanjuan bangsa," ucapnya.
Terkait aktifitas GP Ansor, Wali Kota Semarang yang akrab dengan generasi muda ini mengapresiasi kegiatan simposium kebangsaan. "Ini wujud kecintaan Banom Nahdlatul Ulama terhadap NKRI," tegasnya.
Sementara, Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) GP Ansor Jawa Tengah, Fahsin M Faal dalam paparannya menjelaskan tentang narasi yang dibuat dan disebar oleh kelompok teroris.
Lebih lanjut pria yang pernah menjadi pengurus Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) tersebut menerangkan beberapa faktor utama yang membuat narasi pemerintah bughat, polisi thaghut dan sebagainya yang disebarkan oleh para radikalis-teroris dapat diterima para pembaca.
"Biasanya yang mudah terpengaruh itu karena faktor tiga kosong, yaitu kosong perutnya, kosong pikirannya atau ilmunya, dan kosong waktunya," kata Fahsin.
Diterangkannya, saat sesorang mengalami kesulitan dalam ekonomi, ilmunya pas-pasan dan tidak punya referensi untuk bertabayun, sementara waktunya lebih banyak untuk menelaah sendiri. Hal itulah yang mengakibatkan narasi-narasi yang disebar dapat masuk dan mempengaruhi.
Pada kesempatan tersebut, Fahsin juga membongkar narasi radikal dan mengajarkan para peserta yang hadir untuk membuat kontranarasi terhadap persebaran narasi radikalisme-terorisme.
"Kala seminggu sekali semua peserta yang hadir ini bisa membuat satu kali kontranarasi, maka kita bisa menangkal di dunia maya," tutupnya.
Pewarta: A Rifqi H
Editor: Ibnu Nawawi