Nasional

Sejumlah Pasal Kontroversial dalam UU Kesehatan yang Disahkan DPR

Rab, 12 Juli 2023 | 11:00 WIB

Sejumlah Pasal Kontroversial dalam UU Kesehatan yang Disahkan DPR

Ilustrasi Undang-Undang. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).


Dalam perjalanannya, pembahasan ini menuai pro dan kontra. Berikut sejumlah pasal yang dipersoalkan oleh kesehatan dari pelbagai organisasi profesi. Ada Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia. 


1. Persoalan mandatory spending

Persoalan yang menjadi sorotan adalah mandatory spending atau alokasi anggaran. DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.


Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.


Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal. Namun, penghilangan pasal itu justru tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.


2. Kemudahan izin dokter asing

Persoalan yang menjadi sorotan para tenaga kesehatan di dalam UU Kesehatan yang direvisi itu adalah soal kemudahan pemberian izin untuk dokter asing.


Di dalam beleid yang baru disahkan itu disebutkan berbagai persyaratan bagi dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri buat membuka praktik.


"Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP)," demikian menurut Pasal 233 UU Kesehatan.


Persyaratan yang harus dikantongi mereka buat membuka praktik di dalam negeri adalah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktek.


jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu.


Aturan itu dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.


3. Syarat surat keterangan sehat dan rekomendasi

UU Kesehatan juga mengubah persyaratan bagi seorang dokter buat mendapatkan SIP. "Untuk mendapatkan SIP (Surat Izin Praktik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi," demikian isi pasal 235 Ayat 1 UU Kesehatan.


Bagi IDI, beleid ini sama saja mencabut peran organisasi profesi dalam hal praktik nakes karena tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi.


Padahal surat rekomendasi itu akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik tersebut sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.


4. Pembatasan jumlah organisasi profesi

UU Kesehatan yang direvisi juga dianggap mengatur peran dan pembatasan organisasi profesi. "Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi," demikian isi Pasal 314 ayat 2 UU Kesehatan.


Namun di Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan begitu total kelompok tenaga kesehatan ada 48.


IDI sebagai salah satu penolak RUU Kesehatan, mengaku dibuat bingung, apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi menaungi setiap jenis kesehatan.


Lembaga itu mencontohkan, dokter gigi, dokter umum dan dokter spesialis yang masing-masing punya peran berbeda serta visi misinya juga beda.


5. Konsil kedokteran di bawah menteri

Pasal dalam UU Kesehatan yang dipersoalkan adalah tentang posisi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.


"Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri," demikian isi Pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan.


Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai pasal tersebut "melemahkan" organisasi profesi lantaran sebagian besar fungsinya diambil alih oleh Kementerian Kesehatan.


Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sebelumnya independen dan bertanggung jawab ke Presiden nantinya akan bertanggung jawab kepada Menteri.


6. Kekhawatiran kriminalisasi nakes

Para dokter dan tenaga medis juga menyampaikan kekhawatiran atas pasal yang mengatur tentang ancaman pidana penjara bagi mereka yang melakukan kelalaian berat.


"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," demikian isi Pasal 462 ayat 1.


Lantas pada ayat 2 disebutkan, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun".


IDI menilai pasal itu akan berpotensi munculnya kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian.

 

7. Produk tembakat sebagai zat adiktif

Dalam pasal 149 dijelaskan bahwa produk tembakau termasuk zat adiktif. Produksi, peredaran, dan penggunaan produk tembakau harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan profil risiko kesehatan.

 

Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad