Nasional

SMRC: Politik Uang Hanya 10 Persen Pengaruhi Pemilih dan Tidak Efektif

Jum, 29 Desember 2023 | 14:00 WIB

SMRC: Politik Uang Hanya 10 Persen Pengaruhi Pemilih dan Tidak Efektif

Ilustrasi politik uang. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Profesor Saiful Mujani menilai bahwa politik uang untuk memilih seorang calon legislatif ataupun eksekutif dalam pemilihan umum (pemilu) cenderung tidak efektif dan mahal. Ia mengatakan, dari total pemilih sebanyak 204 juta warga, politik uang hanya dapat mempengaruhi 10 persen pemilih.


"Bila ada orang yang memberi uang atau hadiah ya akan menerima, dan akan memilih calon yang memberi uang itu. Sebenarnya itu sekitar 10 persen lah di dalam masyarakat nasional yang jumlah 204 juta," kata Saiful Mujani, dikutip NU Online dalam Youtube SMRC TV, pada Jumat (29/12/2023).


Saiful juga mengungkapkan bahwa ada 44 persen pemilih menganggap kalau pemberian uang atau hadiah dalam pemilu sebagai hal wajar. Dengan populasi pemilih nasional mencapai 204 juta, persentase ini setara dengan sekitar 90 juta orang yang menoleransi atau menganggap politik uang sebagai bagian dari proses politik yang lumrah.


"Menoleransi artinya menganggap itu hal yang lumrah, bukan satu hal masalah yang besar, sebutlah begitu. Bukan sebagai suatu hal yang mestinya tabu di masyarakat, jahat gitu misalnya walaupun mereka tahu sebenarnya politik uang itu ilegal, melanggar hukum melanggar aturan di dalam pemilihan umum," ungkapnya.


Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa fenomena ini membuat politik uang menjadi mahal dan kurang efektif. Meskipun banyak calon yang mencoba menyebar uang untuk mendapatkan dukungan, hanya sedikit dari mereka yang berhasil mendapatkan suara. Hal ini menurutnya disebabkan oleh ketidakmampuan para politisi dalam mengidentifikasi secara pasti siapa yang dapat dipengaruhi oleh tawaran uang tersebut.


"Jadi masalahnya adalah anda ingin efektif dalam memberikan uang dan berharap orang yang menerimanya akan memilih anda. Kalau anda sebagai calon, maka peluangnya adalah hanya satu dari 10 efektivitas. Itu masalahnya adalah di mana adanya orang yang satu itu di antara 10 warga," jelasnya.


Lebih lanjut, Saiful menggarisbawahi bahwa politisi yang menggunakan politik uang cenderung berspekulasi dalam menyebar uangnya berharap dapat memenangkan suara tanpa kepastian yang jelas.


"Akibatnya adalah para pelaku politik uang ini akan menghambur-hamburkan uangnya. Jadi itu yang membuat pemilu mahal. Untuk dapatkan satu suara efektif dari politik uang anda harus memberi 10 amplop, efektif satu kemungkinannya (memilih anda)," katanya.


Putusan Munas NU tentang Politik Uang

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas NU) di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, pada 2012 memutuskan tentang hukum politik uang.


Munas NU 2012 di Cirebon memutuskan bahwa pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu maka zakat dan sedekah tidak sah dan termasuk risywah (suap). 


Lalu, pemberian kepada calon pemilih atas nama transport, ongkos kerja, kompensasi meninggalkan pekerjaan agar penerima memilih calon tertentu, maka hukumnya tidak sah, batal, dan termasuk suap. 


Kemudian, pemberian yang dimaksudkan untuk suap oleh pemberi, tetapi tidak dinyatakan secara lisan agar penerima memilih calon tertentu, hukumnya haram.