Nasional

Standar Nasional Tetap Diperlukan untuk Peta Jalan Pendidikan

Sel, 26 Januari 2021 | 08:00 WIB

Standar Nasional Tetap Diperlukan untuk Peta Jalan Pendidikan

"Standar Nasional Pendidikan sangat diperlukan sebagai orientasi dasar pengembangan bagi satuan pendidikan yang belum mampu mencapai SNP serta menjadi panduan bagi satuan pendidikan dan Pemerintah Daerah dalam mendampingi dan mengembangkan satuan pendidikan agar memenuhi SNP," kata Ketua LP Ma'arif NU H Arifin Junaidi. (Foto: dok istimewa)

Jakarta, NU Online

Ketua LP Ma’arif NU PBNU, Zainal Arifin Junaidi menegaskan peta jalan pendidikan yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim tetap memerlukan adanya Standar Nasional Pendidikan (SNP). Menurut Arifin, SNP merupakan kriteria minimal yang perlu dipenuhi oleh penyelenggara pendidikan agar dapat memberikan kualitas, untuk menjaga kualitas layanan yang sama, yang sifatnya minimal, untuk seluruh satuan pendidikan di Indonesia.

 

"SNP sangat diperlukan sebagai orientasi dasar pengembangan bagi satuan pendidikan yang belum mampu mencapai SNP serta menjadi panduan bagi satuan pendidikan dan Pemerintah Daerah dalam mendampingi dan mengembangkan satuan pendidikan agar memenuhi SNP," kata Arifin saat mendampingi Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj memberi masukan kepada Mendikbud Nadiem Makarim tentang Peta Jalan Pendidikan 2020-2045, Senin (25/1) kemarin di Jakarta.

 

Selain itu, lanjut Arifin, afirmasi pemerintah juga harus dilakukan terkait desain peta jalan pendidikan tersebut. Tanpa langkah afirmasi dari pemerintah, sejumlah indikator yang ada dalam desain peta jalan pendidikan, seperti kompetensi guru, apresiasi kinerja dan gaji guru, sarana prasarana, dan metode pembelajaran yang akan diterapkan menjadi tantangan yang berat bagi satuan pendidikan swasta, termasuk lingkungan NU.

 

"Akses terhadap sumber daya yang selama ini disediakan pemerintah, belum sepenuhnya dapat diakses oleh satuan pendidikan swasta yang mayoritas melayani pendidikan bagi masyarakat miskin, desa, marginal dan pinggiran," tandas Arifin.

 

Lebih lanjut disampaikan, di dalam sistem pendidikan seharusnya terdapat dimensi antropologi manusia Indonesia, yaitu bagaimana kita memandang manusia Indonesia yang memiliki akar budaya bangsa, tradisi spiritual-religius, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya memiliki tugas dan panggilan yang unik sebagai individu dan warga negara.

 

Selanjutnya, isi fundamental sebuah sistem pendidikan adalah visi besar pendidikan masa depan, yaitu sistem pendidikan Indonesia masa depan akan membentuk dan mempersiapkan warga negara dengan kompetensi dan karakter yang sesuai dan andal.

 

Berkaitan dengan perkembangan teknologi, peta jalan perlu diperkaya dengan fenomena kesadaran baru umat manusia yang hidup dalam dunia tanpa batas, yang semakin menyadari diri dan komunitasnya sebagai penanggung jawab dan pemelihara kehidupan di bumi, dan kesadaran sebagai satu keluarga umat manusia dalam persaudaraan universal.

 

"Dalam konsep Kemdikbud, profil Pelajar Pancasila lebih banyak berbicara pada tataran individual, sementara pada dimensi sosial hanya dikaitkan dengan kemampuan berkolaborasi yang sedari dulu menjadi ciri bangsa Indonesia. Dimensi kewarganegaraan yang menjadi bagian penting dalam ideologi Pancasila seharusnya menjadi bagian penting dalam profil lulusan pendidikan Indonesia," beber Arifin.

 

Mengenai merdeka belajar, Arifin memberi catatan, istilah kunci dalam peta jalan pendidikan lebih baik mengacu langsung pada esensi transformasi dan partisipasi yang ingin dikembangkan, yaitu pendidikan transformatif dan partisipatif yang tidak bias kepentingan kelompok atau mengacu pada kebijakan periode tertentu, sehingga spirit pendidikan transformatif dan partisipatif menjadi alur utama transformasi pendidikan di masa depan.”

 

Tentang ikon program Mendikbud saat ini yaitu guru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak, Arifin menyampaikan, Konsep guru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak, apalagi yang diseleksi, akan melahirkan kelompok elit yang dianggap sebagai aktor utama perubahan pendidikan.

 

"Konsep seperti ini tidak demokratis, berdampak pada pembiaran pemberdayaan pelaku pendidikan, yang secara simultan seharusnya diintervensi oleh Kemendikbud sebagai pelaksana kebijakan," tegas Arifin.

 

Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori