Nasional

Tak Bisa Bedakan Hoaks Tanda Buta Huruf Abad 21

Sen, 4 Mei 2020 | 08:00 WIB

Jakarta, NU Online
KH Wahfiudin Sakam mengungkapkan bahwa di era digital saat ini masih banyak orang yang masuk dalam kategori buta huruf. Ini sesuai dengan pernyataan seorang ahli yang menegaskan bahwa jika dulu buta huruf adalah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, di abad 21 saat ini orang yang buta huruf adalah mereka yang tidak bisa belajar, menanggalkan pelajaran sebelumnya, dan belajar kembali. 
 
"Di abad 21 ini banyak orang bisa membaca namun tidak bisa membedakan apakah itu kebenaran atau hoaks. Apa yang ia lihat langsung di forward begitu saja tanpa meneliti apakah itu benar atau tidak," katanya saat menyampaikan materi Literasi Digital Dalam Dakwah pada kegiatan Madrasah di Rumah yang diselenggarakan Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat, Senin (4/5).
 
Kiai yang pernah menjadi Mudir ‘Aam Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) ini menjelaskan bahwa menghadapi perkembangan teknologi dan informasi yang membawa efek positif dan negatif, semua elemen masyarakat harus menjalin kesadaran dan kerjasama kolektif.
 
Ia mengibaratkan, jika sebuah kapal akan tenggelam, maka para penumpang diarahkan oleh nahkoda untuk memakai pelampung untuk menyelamatkan diri. Setelah terapung di lautan, nahkoda akan mengarahkan semua penumpang untuk bergandengan tangan, bersatu, bersama-sama menyelamatkan diri.
 
Manusia secara individu saat ini lanjutnya, tidak akan sanggup dan tidak bisa membatasi perkembangan teknologi informasi yang sangat liar dan liberal. Oleh karenanya ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghindari hal-hal negatif dari informasi yang tiap detik membanjiri dunia maya.
 
Selain kerja sama melalui komunitas-komunitas dengan para pakar di dalamnya yang menjadi nara sumber, setiap individu masyarakat harus bersabar. Artinya, setiap individu tidak tergesa-gesa mempercayai segala informasi yang ada dan diterimanya.
 
"Bersabar, informasi yang diterima jangan langsung dipercaya. Jangan langsung direspons dengan marah, bangga, semangat. Jadi kendalikan diri," tegasnya.
 
Pengendalian diri ini dilakukan dengan melakukan verifikasi mandiri terhadap informasi sekaligus melakukan perbandingan dengan informasi lainnya. Dengan hal ini maka otomatis akan terlihat dan muncul sendiri mana informasi hoaks dan mana yang benar.
 
Hal ini juga harus ditanamkan pada generasi milenial yang saat ini akrab dengan dunia ini. Mereka harus dibekali dengan kemampuan untuk menyelamatkan diri dari efek-efek negatif yang muncul dari dunia maya. Jangan hanya memberikan pelarangan untuk tidak ini dan itu, tapi mereka harus dibekali dengan kemampuan khusus berselancar di dunia maya.
 
"Kalau ada sungai besar di belakang rumah kita, maka cara yang terbaik untuk meyelamatkan anak kita adalah dengan mengajarkan mereka berenang sehingga mereka tahu cara menyelamatkan diri sekaligus tahu bahaya dari derasnya arus sungai," ia mengibaratkan.
 
Kehidupan sesudah Covid-19
Perubahan kehidupan manusia dari konvensional menuju digital semakin terasa saat ini setelah wabah pandemi Covid-19. Kebijakan physical distancing mengakibatkan dunia maya menjadi alternatif dalam berinteraksi sosial. Secara pelan tapi pasti terbentuk juga masyarakat digital.
 
"Saat ini terjadi perubahan disruptif yang menghancurkan dan membenamkan semua yang telah lalu seraya memberikan tantangan baru. Perubahan terjadi pada wilayah kehidupan pribadi dan sosial memunculkan peraturan baru dan kebiasaan baru," jelasnya.
 
Pola kehidupan lama pun tergantikan dengan kehidupan baru seperti bagaimana masyarakat bekerja, belajar, beribadah, dan mencari penghasilan, semua menggunakan cara baru yakni cara-cara digital.
 
"Kemudahan digital di antaranya mempercepat yang lambat dan melambatkan yang cepat. Membesarkan yang kecil, mengecilkan yang besar. Mudah masuknya, enak keluarnya. Membanyakkan yang sedikit, menyedikitkan yang banyak. Menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh," ungkapnya.
 
Terkait dengan sisi keberkahan yang dirasakan saat terjadinya kontak fisik dalam dunia konvensional seperti saat ngaji dan bisa mencium tangan kiai, ia menjelaskan bahwa keberkahan sendiri memiliki dimensi yang berbeda. Keberkahan menurutnya adalah dimensi spiritual yang tidak tersekat oleh dimensi fisik, baik ruang, dan waktu.
 
Dengan itu, dunia digital atau dunia maya pun menurutnya akan mampu ditembus oleh keberkahan itu sendiri. Tinggal bagaimana setiap individu menata niat dan menyikapi perkembangan zaman yang tak bisa terelakkan.
 
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan